Menaker Ini Menteri Buruh atau Menteri Pengusaha?

Menaker Ini Menteri Buruh atau Menteri Pengusaha?

Pasuruan, KPonline – Di setiap penghujung tahun, buruh kembali menunggu satu keputusan yang selalu menentukan arah hidup mereka: kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) serta Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK). Dan seperti biasa, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) tampil di panggung sebagai pihak yang mengaku membawa “keadilan” bagi pekerja. Namun benarkah begitu?

 

Bacaan Lainnya

Kenaikan Upah Minimum sering dipoles sebagai bukti perhatian negara terhadap nasib buruh. Tetapi di balik angka yang diumumkan dengan penuh seremoni itu, ada realitas yang jauh lebih getir. Kenaikan itu bukan hadiah, bukan kemurahan hati pemerintah, melainkan sekadar respon minimum terhadap inflasi yang kian mencengkik, pertumbuhan ekonomi yang timpang, serta kebutuhan hidup layak yang makin tak terkejar.

 

Di atas kertas, Kemenaker memiliki tanggung jawab moral dan politik: memastikan kebijakan upah berjalan adil, hak buruh dihormati, dan kesejahteraan meningkat. Namun di dunia nyata, buruh lebih sering merasa dikhianati. Banyak kebijakan yang mestinya melindungi mereka justru terasa seperti karpet merah bagi kepentingan pengusaha.

 

Maka muncul pertanyaan yang menggema di jalan-jalan, di pabrik, di ruang-ruang rapat serikat:

“Menaker ini menteri buruh atau menteri pengusaha?”

 

Secara prinsip, tentu jawabannya harus: bukan keduanya. Menaker seharusnya berdiri di tengah, independen, adil, dan berpihak pada kebenaran. Tetapi ketika keputusan-keputusan yang lahir selalu terasa menguntungkan satu pihak saja, wajar bila buruh merasa dilupakan dan tidak diwakili.

 

Meski begitu, buruh memahami bahwa upah bukan satu-satunya variabel dalam persaingan ekonomi. Mereka tahu produktivitas harus meningkat, kualitas kerja harus ditingkatkan, dan keterampilan harus terus diasah. Mereka siap. Mereka ingin maju. Mereka ingin berkontribusi lebih besar bagi perusahaan dan negara.

 

Namun peningkatan produktivitas tidak akan lahir dari kata-kata kosong. Di sinilah Kemenaker seharusnya hadir, bukan hanya sebagai penetap angka, tetapi sebagai penggerak pelatihan, pencipta akses pengembangan diri, dan penjamin agar buruh tidak hanya menjadi roda produksi, tetapi manusia yang berkembang.

 

Kenaikan Upah Minimum juga membawa dampak lebih luas pada perekonomian: konsumsi meningkat, perputaran uang lebih cepat, dan pendapatan negara turut tumbuh. Jika perusahaan ingin bertahan, mereka pun harus berbenah, meningkatkan efisiensi, memperkuat daya saing, dan memperlakukan buruh bukan sebagai beban, tetapi sebagai aset.

 

Pada akhirnya, kenaikan Upah bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan pengingat bahwa kesejahteraan buruh hanya dapat terwujud jika negara benar-benar hadir, bukan sekadar tampak hadir. Upah yang naik harus beriring dengan peningkatan kemampuan, produktivitas, dan perubahan struktural yang berpihak kepada mereka yang memeras keringat setiap hari.

 

Sebab bagi buruh, upah bukan sekadar angka.

Ia adalah napas kehidupan.

 

(Tim Media PUK JAI)

Pos terkait