Memetakan Strategi Kerja Federasi dalam Isu Transisi yang Adil dan Masa Depan Pekerjaan

Memetakan Strategi Kerja Federasi dalam Isu Transisi yang Adil dan Masa Depan Pekerjaan
Workshop Nasional "Pemetaan Strategi Kerja Federasi dalam Isu Transisi yang Adil dan Masa Depan Pekerjaan" dihadiri 60 peserta dari perwakilan KSPI dan KSBSI, Jakarta, 20-21 Oktober 2025

Jakarta, KPonline – Jakarta menjadi saksi dari sebuah langkah penting yang menandai keseriusan gerakan serikat pekerja dalam menghadapi perubahan besar di dunia kerja. Pada tanggal 20–21 Oktober 2025, bertempat di Hotel Sparks Life, digelar Workshop Nasional Pemetaan Strategi Kerja Federasi dalam Isu Transisi yang Adil dan Masa Depan Pekerjaan. Acara ini mempertemukan 60 perwakilan federasi dari dua konfederasi besar di Indonesia. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI).

Indonesia dikenal sebagai paru-paru dunia dengan hutan tropis yang luas. Namun, laporan Forest Watch Indonesia (FWI) pada Januari 2024 menunjukkan fakta mencemaskan: deforestasi di Indonesia antara tahun 2017–2021 mencapai 2,54 juta hektar per tahun. Aktivitas seperti pembalakan liar, perluasan lahan pertanian, pembangunan infrastruktur, dan pertambangan menjadi penyebab utama hilangnya tutupan hutan. Bagi masyarakat sipil, ini adalah krisis lingkungan. Namun bagi gerakan buruh, ini juga krisis ketenagakerjaan.

“Perubahan iklim bukan hanya tentang alam yang rusak,” ujar Kahar S. Cahyono, narasumber dari KSPI yang memaparkan strategi konfederasi dalam transisi yang adil dan masa depan pekerjaan. “Ini soal keberlangsungan hidup dan pekerjaan jutaan buruh yang bisa terdampak ketika industri berubah, atau bahkan hilang, karena kebijakan mitigasi iklim.”

Kahar menekankan bahwa dalam setiap kebijakan mitigasi atau adaptasi perubahan iklim, negara sering kali fokus pada target pengurangan emisi, namun abai terhadap nasib para pekerja yang terdampak. Baginya, just transition atau transisi yang adil bukan hanya jargon, melainkan mandat moral dan politik yang harus diperjuangkan oleh gerakan buruh agar perubahan menuju ekonomi hijau tidak melahirkan “pengangguran hijau.”

Workshop nasional ini dirancang untuk menghasilkan strategi sektoral yang konkret dari masing-masing federasi. Tujuannya tidak semata menambah wawasan, tetapi melahirkan kertas kerja advokasi yang bisa menjadi panduan dalam membela kepentingan buruh di tengah perubahan industri.

“Serikat pekerja tidak boleh hanya menjadi penonton dalam perubahan besar ini,” tegas Kahar. “Kita harus menjadi aktor yang aktif, duduk di meja perundingan, menyusun strategi, dan memastikan bahwa setiap kebijakan transisi energi dan iklim berpihak pada pekerja.”

Melalui kegiatan ini, peserta diharapkan mampu menyusun strategi kerja sektoral berdasarkan tantangan dan peluang di masing-masing industri, mengidentifikasi mitra strategis yang bisa diajak bekerja sama dalam advokasi transisi yang adil, dan menghasilkan policy paper atau kertas kerja federasi sebagai pedoman jangka panjang.

Kegiatan dilaksanakan dengan metode partisipatif yang menggabungkan seminar dan sesi kelompok kerja. Hari pertama difokuskan pada identifikasi masalah sektoral — mulai dari ancaman hilangnya pekerjaan di industri batu bara hingga kebutuhan peningkatan keterampilan di sektor manufaktur. Hari kedua diisi dengan sesi seminar dan penyusunan rencana aksi konkret oleh setiap federasi.

Peserta dibagi ke dalam kelompok gabungan antara KSPI dan KSBSI. Mereka berdiskusi tentang bagaimana kebijakan mitigasi iklim memengaruhi sektor mereka, dari energi, tambang, logam, hingga jasa publik. Format lintas konfederasi ini menumbuhkan semangat solidaritas lintas organisasi, yang jarang terlihat dalam forum-forum serikat pekerja sebelumnya.

“Kerja sama lintas konfederasi ini penting,” kata Kahar dalam salah satu sesi diskusi. “Isu perubahan iklim dan masa depan pekerjaan adalah isu lintas batas. Ia tidak mengenal warna serikat. Yang dipertaruhkan adalah masa depan kelas pekerja.”

Salah satu hasil konkret dari kegiatan ini adalah tersusunnya kertas kerja sektoral dari masing-masing federasi, yang berisi analisis situasi, tantangan, dan rekomendasi strategi advokasi. Dokumen ini akan menjadi panduan bagi serikat pekerja dalam memperjuangkan kebijakan publik dan perundingan bersama yang memasukkan klausul just transition.

Manfaatnya tidak hanya bagi buruh, tetapi juga bagi masyarakat luas. Sebab, keberhasilan transisi yang adil berarti memastikan pekerjaan yang layak tetap tersedia, lingkungan tetap lestari, dan ekonomi tumbuh tanpa meninggalkan siapa pun di belakang.

Workshop nasional ini menjadi tonggak penting bagi gerakan buruh di Indonesia. Ia menandai perubahan paradigma — dari gerakan yang reaktif terhadap kebijakan menjadi gerakan yang proaktif dalam menentukan arah transisi.

“Transisi yang adil tidak akan terjadi dengan sendirinya,” ujar Kahar menutup sesi. “Ia harus diperjuangkan. Kita harus memastikan bahwa dalam setiap perubahan, suara pekerja tidak hanya didengar, tapi juga menentukan.”

Dengan semangat tersebut, para peserta meninggalkan ruang konferensi dengan bekal pemahaman baru dan tekad yang lebih kuat. Bahwa perjuangan untuk pekerjaan yang layak, lingkungan yang sehat, dan keadilan sosial bukanlah agenda yang terpisah — melainkan satu kesatuan yang harus diperjuangkan bersama.

> “Keadilan sosial bagi pekerja berarti keadilan ekologis bagi semua,” ujar Kahar, menyimpulkan gagasan besar yang menjadi ruh dari workshop ini.