Jakarta, KPonline – Sabtu–Minggu, 20–21 September 2025, saya hadir dalam workshop “Pekerja Informal dan Transisi Energi yang Berkeadilan” di Kutai Timur, Kalimantan Timur. Tempat ini berada di jantung daerah penghasil batubara terbesar di Indonesia, sebuah kawasan yang selama puluhan tahun hidup dan berdenyut dari industri batubara.
Selama bertahun-tahun, industri ini bukan hanya menjadi tulang punggung ekonomi daerah, tetapi juga memberi penghidupan bagi banyak orang. Saya melihat sendiri bagaimana pekerja formal di perusahaan tambang, hingga para pedagang kecil, penyedia transportasi, pekerja jasa, dan pelaku UMKM, menggantungkan hidup dari ekosistem industri batubara. Namun kini, agenda transisi energi nasional dan global—coal phase-out maupun phase-down—membawa perubahan besar yang tidak bisa dihindari.
Jika pekerja formal saja menghadapi ketidakpastian, apalagi pekerja informal yang selama ini hidup dari aktivitas ekonomi di sekitar tambang. Mereka bisa kehilangan pendapatan tanpa ada alternatif yang jelas. Inilah yang membuat saya berulang kali menekankan bahwa mereka tidak boleh diabaikan.
Pekerja informal sering kali tidak diperhitungkan dalam perencanaan transisi energi. Padahal, mereka adalah bagian penting dari denyut ekonomi daerah. Tanpa mereka, aktivitas sosial dan ekonomi di sekitar tambang tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Karena itu, bagi saya, keterlibatan pekerja informal adalah sebuah keharusan.
Workshop yang diselenggarakan KSPI di Kutai Timur ini saya pandang sebagai langkah penting untuk memperkuat kapasitas pekerja informal menghadapi dinamika transisi energi. Kami berdiskusi tentang hak-hak dasar mereka, berbagi keterampilan advokasi dan strategi negosiasi, serta menggali pengalaman hidup yang mereka alami sehari-hari.
Selain itu, kegiatan ini juga menjadi wadah untuk berbagi informasi mengenai hasil studi pekerja informal, temuan dari Forum Konsultasi Daerah (FKD), dan keterkaitannya dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Saya juga menekankan pentingnya memetakan pekerjaan informal yang paling terdampak, membangun jaringan yang lebih solid, dan merumuskan rekomendasi advokasi yang bisa masuk ke agenda serikat pekerja nasional. Workshop ini bukan sekadar pertemuan, melainkan ikhtiar bersama untuk membangun peta jalan yang memberi posisi tawar bagi pekerja informal.
Risiko terbesar bagi pekerja informal adalah ketiadaan perlindungan hukum. Regulasi ketenagakerjaan kita selama ini lebih banyak menyasar pekerja formal, sementara jutaan pekerja informal di sekitar industri ekstraktif seakan luput dari perhatian. Akibatnya, ketika tambang ditutup, mereka bisa jadi kelompok pertama yang tersingkir.
Saya sering membayangkan: satu tambang tutup, ribuan pekerja tambang kehilangan kerja. Tapi bukan hanya itu, pedagang nasi, tukang ojek, pemilik warung, semua ikut terpukul. Gelombang pengangguran tersembunyi bisa saja muncul tanpa kita sadari.
Namun, saya tidak ingin hanya berbicara tentang risiko. Transisi energi juga membuka peluang. Jika dikelola dengan benar, pekerja informal bisa diarahkan ke sektor baru seperti energi terbarukan, ekonomi hijau, atau usaha-usaha produktif lain yang berkelanjutan. Tetapi peluang itu tidak akan datang sendiri. Ia harus disiapkan melalui kebijakan yang inklusif dan peta jalan yang jelas.
Dalam hal ini, pemerintah semestinya tidak hanya melihat transisi energi dari kacamata teknis dan investasi. Dimensi sosial jauh lebih penting untuk memastikan keadilan. Pekerja informal harus diakui sebagai kelompok terdampak dan dilibatkan dalam proses perencanaan.
Transisi energi harus berkeadilan. Artinya, semua pihak yang terkena dampak harus punya ruang untuk bersuara. Jangan sampai pekerja informal dikorbankan demi target iklim, sementara kesejahteraan mereka diabaikan.
Kalimantan Timur kini berada pada persimpangan sejarah. Daerah ini sudah lama menggantungkan diri pada batubara, tapi arus global menuntut pergeseran menuju energi bersih. Dalam arus perubahan itu, pekerja informal menjadi kelompok paling rawan, sekaligus paling sering terlupakan.
Workshop yang kami adakan di Kutai Timur ini saya harap menjadi tonggak awal untuk memperkuat kapasitas pekerja informal, membangun solidaritas, dan menyiapkan rekomendasi advokasi yang konkret. Saya ingin memastikan bahwa mereka tidak hanya menjadi penonton atau korban, tetapi aktor penting dalam perjalanan menuju masa depan energi yang lebih hijau dan berkeadilan.