Purwakarta, KPonline – Di tengah meningkatnya ketidaksetaraan global, pelemahan serikat pekerja, dan ancaman krisis iklim, International Trade Union Confederation (ITUC) di bawah kepemimpinan Sekjen Luc Triangle menawarkan solusi radikal: Kontrak Sosial Baru Global (New Global Social Contract). Kontrak ini bukan sekadar retorika, melainkan tuntutan yang konkret dan terstruktur kepada pemerintah dan institusi global untuk merombak sistem ekonomi demi keadilan sosial.
Substansi Kontrak Sosial Baru ITUC bertumpu pada lima pilar utama yang sangat relevan untuk perjuangan kelas pekerja Indonesia:
1. Pekerjaan (Jobs): Menuntut investasi besar-besaran untuk menciptakan Pekerjaan Layak dan Berkelanjutan bagi semua. Ini termasuk komitmen global untuk mengatasi pengangguran tersembunyi dan memastikan bahwa pekerjaan baru adalah pekerjaan yang formal dan layak.
2. Hak (Rights): Menuntut agar hak-hak fundamental pekerja (kebebasan berserikat dan berunding kolektif) dijamin dan dilaksanakan di mana pun. Pilar ini adalah tameng terpenting melawan kebijakan yang bertujuan melemahkan serikat buruh.
3. Perlindungan Sosial (Social Protection): Mendesak penguatan dan universalitas Perlindungan Sosial, termasuk jaminan kesehatan, pensiun, dan jaminan pengangguran, yang harus mencakup semua pekerja, termasuk yang berada di sektor informal.
4. Kesetaraan (Equality): Menuntut penghapusan semua bentuk diskriminasi. Secara spesifik, ITUC menuntut Kesetaraan Upah untuk Pekerjaan yang Setara Nilainya antara laki-laki dan perempuan, serta perlindungan bagi pekerja muda dan migran.
5. Pendapatan (Income): Menuntut Upah yang Layak (Living Wage) bagi setiap pekerja di seluruh dunia, bukan hanya Upah Minimum yang seringkali tidak cukup untuk menutupi biaya hidup dasar.
Wahyu Hidayat, aktivis buruh FSPMI Purwakarta, melihat Kontrak Sosial Baru ini sebagai arah perjuangan yang harus diadaptasi oleh serikat buruh secara nasional. “Pernyataan Luc Triangle tentang Kontrak Sosial Baru adalah peta jalan yang menginspirasi. Ini bukan hanya tentang menaikkan upah 10%, tapi tentang perombakan total agar hak-hak buruh benar-benar dihormati,” tegasnya.
“Kedatangan pimpinan tertinggi ITUC dan jajaran adalah pernyataan dunia untuk membersamai gerakan kelas pekerja di Indonesia dalam perjuangannya mendapatkan hak-hak kesejahteraannya. Buruh harus tetap waspada sekalipun kemenangan putusan MK 168/2023 kita raih. Residu-residu Omnibus Law masih berupaya miskinkan buruh,” ujar Wahyu Hidayat.
Menurutnya, Visi ITUC ini memposisikan serikat buruh tidak hanya sebagai pengurus konflik industrial, tetapi sebagai agen perubahan yang membawa isu-isu besar. Mulai dari krisis biaya hidup hingga keadilan iklim hingga ke meja perundingan. “Ini adalah panggilan bagi kelas pekerja untuk memiliki ambisi yang lebih besar: menuntut bukan hanya remah-remah, tetapi sistem ekonomi yang adil dan berpusat pada manusia,” pungkasnya.