Meja Bundar, Anto Bangun KC FSPMI Labuhanbatu : Kompromi Pengusaha dan Penguasa Menindas Buruh

Meja Bundar, Anto Bangun KC FSPMI Labuhanbatu : Kompromi Pengusaha dan Penguasa Menindas Buruh

Medan,KPonline, – Di balik keindahan dan kemegahan meja bundar tempatl dialog dan kesepakatan, tersimpan sebuah ironi yang getir dan pahit bagi kaum buruh. Meja bundar yang indah dan megah itu bukan lagi tempat musyawarah yang adil, meja bundar itu lebih menyerupai arena kompromi gelap antara pengusaha dan penguasa, dua kekuatan yang bersatu untuk melanggengkan dominasi, mengunci suara buruh, dan menggerogoti hak-hak dasar kaum yang termarginalkan.

Dibanyak peristiwa perburuhan, kaum buruh melihat dan menyaksikan bagaimana aturan hukum dibengkokkan demi kepentingan para pemilik modal. Penguasa, yang seharusnya menjadi pelindung rakyat,kaum buruh, justru sering kali bertindak sebagai pelayan kepentingan investor. Seluruh regulasi yang berhubungan dan berkaitan kepada kepentingan pemilik modal dipermudah, penegakan hukum ketenagakakerjaan dilumpuhkan, pengawasan dilemahkan dengan dengan meminimalisir jumlah Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan memperluas wilayah hukumnya sebagaimana bukti nyata satu bagian Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pengawas Ketenagakerjaan Provinsi membawahi lima hingga enam daerah Kabupaten/ Kota, yang didalamya berisikan ratusan hingga ribuan perusahaan dan puluhan buruh, akses untuk mendapatkan keadilan bagi kaum buruh dipersulit, dan buruh harus mengeluarkan biaya yang sangat besar ketika ingin mendapatkan keadilan, sebab harus ke ibukota provinsi untuk memperjuangkannya, di Pengadilan Negeri Provinsi ketika hubungannya kepada bidang hukum Administrasi (Perselisihan Hubungan Industrial) dan ke tingkat Polda ketika hubungannya kepada bidang hukum pidana.

Saat buruh melakukan perlawanan aparat dan sejumlah preman bayaran segera dikerahkan, tidak jarang aksi mogok kerja dibubarkan dengan dalih ketertiban umum, padahal yang mereka tuntut hanyalah keadilan upah dan kepastian kerja.

Kompromi ini bukan kebetulan, hal ini adalah hasil dari simbiosis oportunistik, pengusaha butuh perlindungan politik untuk memaksimalkan keuntungan, sedangkan penguasa butuh dukungan ekonomi dan politik dari korporasi untuk mempertahankan kekuasaan. Maka terjadilah barter kekuasaan dan modal, dengan buruh sebagai tumbalnya.

Fakta kompromi ini bisa dilihat dalam bentuk huungan kerja outsourcing massal, kerja kontrak tanpa kepastian, jam kerja eksploitatif, hingga penghalalan upah murah atas nama daya saing. Bahkan, dalam pembentukan undang-undang strategis seperti Omnibus Law, suara buruh diredam, dituduh menghambat investasi, dan disingkirkan dari ruang perundingan. Meja bundar itu ternyata bukan untuk kepentingan rakyatsemuanya, buruh tak diundang, hanya dijadikan objek.

Padahal, buruh bukan sekadar angka statistik ekonomi, buruh adalah pilar yang menopang industri, penggerak produksi, dan sumber nilai tambah, tetapi dalam kompromi elit itu, buruh diposisikan seperti beban, masuk sebagai unsur modal usaha, sehingga untuk menekan biaya produksi jumlah buruh harus diminimalisir dan beban serta jam kerja wajib ditambah.Sebuah fakta sistim paradoks yang terus direproduksi oleh sistem yang melayani kepentingan pemilik modal dan mengkhianati keadilan sosial.

Bila kompromi ini terus dibiarkan, maka demokrasi hanya akan menjadi topeng. Negara hukum menjadi negara pasar. Dan kesejahteraan hanyalah narasi dalam pidato-pidato kosong.

Buruh harus bangun dari tindur panjangnya, membuka mata untuk melihat dengan jernih bahwa kelangsungan, pertumbuhan dan perkembangan perusahaan bukan ditentukan oleh Direksi yang memiliki titel berderet didepan dan dibelakang namanya, juga bukan ditentukan oleh para pejabat pemegang kekuasaan yang dzolim dan munafik, penentunya dalah kaum buruh,” Ketika seluruh proses dan roda produksi terhenti dan ekonomi lumpuh disana akan terlihat siapa sejatinya penentunya”. (Anto Bangun)