Adelaide, KPonline — Wakil Presiden KSPI Bidang Luar Negeri, Prihanani Boenadi, menjadi salah satu delegasi yang hadir dalam ACTU Healthy Work Conference 2025 di Adelaide, Australia. Kehadiran KSPI di forum internasional ini merupakan undangan dari Union Aid Abroad – APHEDA, lembaga yang selama lebih dari tiga dekade dikenal konsisten mendorong penghapusan total penggunaan asbes di kawasan Asia-Pasifik.
Konferensi yang menghimpun serikat pekerja dan organisasi masyarakat sipil dari berbagai negara ini menjadi ruang penting untuk membahas isu keselamatan dan kesehatan kerja, khususnya bahaya asbes—material yang hingga kini masih menimbulkan ancaman mematikan bagi jutaan pekerja dan masyarakat.
Asbes telah lama diakui dunia internasional sebagai bahan berbahaya yang dapat memicu kanker paru-paru, mesothelioma, hingga asbestosis. Seratnya yang halus dan mudah terhirup dapat tertimbun secara permanen di dalam paru-paru. Karena dampaknya yang fatal dan tidak dapat dipulihkan, banyak negara sudah memberlakukan pelarangan total.
Namun sebagian besar negara Asia, termasuk Indonesia, masih mengizinkan penggunaannya. Situasi ini menjadi perhatian serius KSPI. Menurut Prihanani, pelarangan asbes sudah seharusnya menjadi prioritas pemerintah Indonesia, mengingat dampaknya tidak hanya dirasakan pekerja industri, tetapi juga keluarga mereka dan masyarakat di sekitarnya.
Melalui forum ini, KSPI kembali menegaskan pentingnya edukasi publik mengenai bahaya asbes, terutama di daerah yang masih menggunakannya sebagai bahan bangunan rumah tinggal maupun fasilitas umum. “Perlindungan pekerja tidak bisa menunggu. Kebijakan nasional harus berpihak pada kesehatan rakyat,” tegas Prihanani.
Salah satu momen paling menyentuh, saat Dhiccy Sandewa dari LION Indonesia tampil di hadapan peserta untuk menceritakan bagaimana dirinya menghadapi intimidasi dari industri asbes. Dhiccy dan sejumlah aktivis sempat digugat hingga USD 75 juta hanya karena menyuarakan bahaya asbes bagi pekerja.
Begitu Dhiccy selesai berbicara, seluruh ruangan berdiri memberikan standing ovation. Bagi banyak peserta, itu bukan sekadar penghormatan, tetapi pernyataan bahwa keberanian melawan tekanan korporasi besar tidak boleh berjalan sendirian.
Prihanani menyebut momen tersebut sebagai pengingat bahwa perjuangan keselamatan kerja sering kali menuntut harga yang tidak ringan.
“Melihat Dhiccy berdiri dan berbicara dari hati lalu disambut tepuk tangan seluruh ruangan menunjukkan solidaritas internasional kita hidup dan kuat. Kita tidak akan membiarkan siapa pun menghadapi intimidasi sendirian,” ujarnya.
Konferensi ini juga dihadiri tokoh kampanye penghapusan asbes dari berbagai negara, termasuk Jotika Sharma dari Fiji Trades Union Congress dan Yan Ke Wong dari Building and Wood Workers’ International (BWI). Kehadiran mereka menegaskan bahwa isu asbes bukan masalah satu negara, melainkan ancaman global yang membutuhkan respons bersama.
Prihanani menyampaikan bahwa posisi KSPI tak berubah: asbes harus dihapus dari tempat kerja, dari rumah-rumah warga, dari seluruh ruang hidup manusia. Dengan lebih dari 80 persen konsumsi asbes dunia berada di Asia, termasuk Indonesia, serikat pekerja memikul tanggung jawab moral untuk memutus rantai bahaya ini.
“Ini bukan hanya soal pekerja hari ini. Ini tentang masa depan generasi berikutnya. Asbes merenggut kesehatan, merenggut nyawa. Kita harus berkata tegas: Asbestos — not here, not anywhere,” tutup Prihanani.