Jakarta, KPonline — Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersama Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menggelar diskusi untuk mendiskusikan pentingnya memasukkan klausul Just Transition atau transisi yang berkeadilan dalam rancangan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang baru, Jum`at (10/10). Diskusi ini menegaskan posisi buruh dalam memastikan agar perubahan menuju ekonomi hijau tidak mengorbankan hak-hak pekerja.
Menurut Vice President KSPI, Kahar S. Cahyono, pembahasan RUU Ketenagakerjaan harus menempatkan pekerja sebagai subjek utama dalam perubahan sistem ketenagakerjaan. “Pertemuan ini menjadi wadah untuk memperkuat posisi serikat pekerja agar setiap perubahan kebijakan di masa depan benar-benar berpihak pada kepentingan buruh. Transisi energi bukan hanya soal mengganti sumber daya, tetapi juga harus memastikan tidak ada pekerja yang tertinggal,” ujarnya.
Kahar menegaskan, prinsip Just Transition penting untuk diadopsi dalam undang-undang agar pekerja di sektor-sektor terdampak seperti batubara, migas, dan industri berat memperoleh perlindungan sosial, kompensasi, serta akses terhadap pelatihan ulang dan pekerjaan baru.
“Transisi energi berkeadilan berarti memastikan perlindungan dan kesempatan kerja bagi semua. Tanpa klausul yang tegas, transisi hanya akan melahirkan ketimpangan baru,” tambahnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menjelaskan bahwa memasukkan prinsip transisi berkeadilan dalam RUU Ketenagakerjaan bukan sekadar isu lingkungan, melainkan keharusan ekonomi dan sosial. “Tujuan utamanya adalah mengintegrasikan prinsip transisi energi berkeadilan ke dalam regulasi ketenagakerjaan agar pekerja terlindungi dalam proses perubahan menuju energi bersih,” ungkap Bhima.
Ia menuturkan, ada empat pilar utama yang perlu menjadi bagian dari klausul Just Transition.
Pertama, mengintegrasikan prinsip transisi energi berkeadilan untuk memastikan perlindungan sosial dan peluang kerja yang adil di tengah perubahan struktur energi nasional. “Kebijakan energi harus sinkron dengan perlindungan tenaga kerja, jangan sampai pekerja yang kehilangan pekerjaan akibat pergeseran industri energi tidak punya jaring pengaman,” kata Bhima.
Kedua, melindungi pekerja terdampak dari perubahan struktur ekonomi dan teknologi energi melalui kompensasi, pelatihan ulang, dan dukungan penempatan kerja. “Transisi tidak boleh dimaknai sebagai penghapusan pekerjaan lama tanpa solusi. Pemerintah harus menyiapkan dana kompensasi dan skema reskilling agar pekerja bisa beradaptasi,” jelasnya.
Ketiga, mendorong penciptaan pekerjaan hijau (green jobs) dan pengembangan keterampilan hijau (green skills) sebagai bagian dari agenda pembangunan berkelanjutan. Menurut Bhima, industri hijau akan menjadi sumber pertumbuhan baru, namun hanya bisa inklusif jika pekerja lokal dilibatkan melalui pendidikan dan pelatihan yang relevan.
Keempat, menjamin koordinasi lintas sektor dalam perencanaan dan pembiayaan transisi tenaga kerja. “Transisi yang adil tidak bisa dijalankan oleh satu kementerian saja. Harus ada koordinasi antara Kementerian Ketenagakerjaan, ESDM, Bappenas, dan dunia usaha, agar arah transisi berjalan sistematis dan tidak meninggalkan pekerja,” tegasnya.
KSPI menilai, keberadaan klausul Just Transition dalam RUU Ketenagakerjaan akan menjadi tonggak penting dalam menghadapi perubahan ekonomi global yang semakin menuntut efisiensi energi dan keberlanjutan lingkungan. “Indonesia tidak boleh hanya fokus pada investasi dan target emisi. Hak pekerja, perlindungan sosial, dan kesejahteraan harus menjadi prioritas utama,” ujar Kahar.
Diskusi antara KSPI dan CELIOS ini mencerminkan langkah awal untuk membangun kesadaran bersama bahwa kebijakan transisi energi berkeadilan tidak bisa dilepaskan dari kerangka hukum ketenagakerjaan. Buruh bukan sekadar penonton dalam perubahan besar ini—mereka adalah aktor utama yang harus dilindungi, diberdayakan, dan diberi ruang dalam setiap proses perumusan kebijakan.
Dengan demikian, integrasi prinsip Just Transition ke dalam RUU Ketenagakerjaan bukan hanya simbol kepedulian lingkungan, tetapi wujud nyata dari komitmen pemerintah dan serikat pekerja dalam membangun masa depan kerja yang berkeadilan, inklusif, dan berkelanjutan.