Garut, KPonline – Persidangan kasus pidana yang menjerat Taufik Hidayat, seorang buruh PT. Pratama Abadi Industri (JX2) di Pengadilan Negeri Garut memantik keprihatinan mendalam dari berbagai kalangan. Kasus yang bermula dari ungkapan kekesalan verbal ini dinilai telah dipaksakan menjadi ranah pidana akibat tafsir hukum dan bahasa yang tercabut dari akar sosiologis masyarakat.
Sorotan utama tertuju pada keterangan Saksi Ahli Bahasa yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dalam persidangan, ahli tersebut menafsirkan frasa “Anjing Sia” secara tekstual sebagai bentuk ancaman pidana. Padahal, dalam dialektika sosial masyarakat Jawa Barat. Bahkan bagi pengamat non-Sunda sekalipun ungkapan tersebut sejatinya adalah luapan emosi atau kekesalan spontan (interjeksi), bukan deklarasi niat jahat untuk mencelakai fisik (mens rea).
Ironi “Air Susu Dibalas Air Tuba”
Kasus ini menjadi preseden buruk bagi rasa keadilan masyarakat. Taufik Hidayat diketahui duduk di kursi pesakitan setelah dilaporkan manajemen perusahaan berdasarkan informasi “mantan sahabatnya” sendiri.
Ironisnya, mantan sahabatnya itu menjadi saksi yang kemudian mengaku bahwa telah diarahkan untuk memberatkan orang yang pernah menolongnya mendapatkan pekerjaan di perusahaan tersebut. Fenomena ini menggambarkan realitas pahit pepatah “Menolong anjing kejepit”. Kebaikan Taufik dibalas dengan kriminalisasi hanya karena keteledoran lidah saat meluapkan kekecewaan terhadap “pengkhianatan” teman.
Penegakan hukum dalam kasus ini dinilai kehilangan proporsionalitas dan mengabaikan konteks moralitas hubungan antar manusia.
Solidaritas Tanpa Batas di Tanah Kelahiran FSPMI
Melihat ketidakadilan yang mencolok, gelombang solidaritas buruh terus mengalir ke Garut, kota yang memiliki nilai historis sebagai tempat kelahiran Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI).
Salah satu bentuk dukungan nyata datang dari Wahyu Hidayat, Ketua PC SPAMK FSPMI Purwakarta. Wahyu terpantau hadir langsung di barisan massa aksi solidaritas, meskipun baru saja tiba dari tugas luar kota yang melelahkan pada malam sebelumnya. Kehadiran Wahyu mengenyampingkan kelelahan fisik demi menegakkan prinsip bahwa buruh tidak boleh dibiarkan sendirian melawan tafsir hukum yang kaku.
“Kehadiran kami adalah bentuk perlawanan terhadap matinya nalar dan hati nurani. Jika ungkapan kekesalan akibat dikhianati teman bisa memenjarakan orang, maka hukum sedang bekerja tanpa melihat sisi kemanusiaan. Kami menuntut keadilan yang proporsional bagi Taufik,” tegasnya.
“Kami mengajak seluruh elemen masyarakat dan penegak hukum untuk melihat kasus ini dengan kacamata yang lebih jernih: bahwa hukum tidak diciptakan untuk membalas kebaikan dengan penjara, dan bahasa tidak boleh ditafsirkan semata-mata dari kamus yang mati, melainkan dari rasa yang hidup di masyarakat,” ujar Wahyu tegas.