Jakarta, KPonline – Akhir Oktober, denyut perjuangan gerakan buruh kembali menggaung lantang. Kamis (30/10/2025), ribuan buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) dan berafiliasi dengan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melakukan konsolidasi nasional di Jakarta.
Agenda ini menjadi momentum krusial (penting) untuk menegaskan sikap rakyat pekerja terhadap penetapan upah 2026 dan kebijakan ketenagakerjaan nasional yang dinilai masih mengabaikan prinsip keadilan dan kesejahteraan.
Dari ribuan peserta aksi, terlihat rombongan buruh dari Kabupaten Purwakarta yang turut hadir dan bergabung bersama massa dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, serta Karawang. Mereka datang dengan satu misi: memastikan suara buruh menjadi perhatian pemerintah dan publik jelang tahun baru, saat keputusan upah minimum dan arah kebijakan ketenagakerjaan berada di titik penentu.
Aksi yang awalnya direncanakan digelar di Gedung DPR RI atau Istana Presiden mendadak bergeser ke Aula Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta Pusat. Perubahan lokasi ini bukan keputusan tanpa perhitungan, melainkan strategi untuk memusatkan konsolidasi dan memperkuat pemahaman anggota terhadap isu perjuangan yang akan dibawa ke ranah politik dan kebijakan nasional.
“Pemilihan lokasi ini diputuskan dengan pertimbangan agar fokus pada konsolidasi massa aksi dan pendalaman isu, sehingga anggota memahami arah perjuangan organisasi,” ujar Ketua Pimpinan Cabang (PC) Serikat Pekerja Automotif Mesin dan Komponen (SPAMK) FSPMI Purwakarta, Wahyu Hidayat saat dikonfirmasi oleh Media Perdjoeangan.
Langkah ini menegaskan bahwa perjuangan buruh bukan semata aksi turun ke jalan, tetapi juga penguatan kapasitas internal agar setiap anggota mampu menjadi agen perubahan di tempat kerja dan komunitas masing-masing.
Empat Tuntutan Utama Buruh di Akhir Tahun
Dalam konsolidasi nasional ini, FSPMI-KSPI menyuarakan empat tuntutan strategis:
1. Penghapusan Sistem Outsourcing. Sistem alih daya dinilai telah memiskinkan pekerja, menghapus kepastian kerja, dan menggerus hak-hak normatif buruh. Model ini dianggap hanya menguntungkan korporasi tetapi merugikan masa depan pekerja dan keluarganya.
2. Kenaikan Upah 8,5%-10,5% untuk Tahun 2026
Di tengah kenaikan harga kebutuhan pokok, biaya pendidikan, kesehatan, dan transportasi, kenaikan upah di bawah dua digit dianggap tidak manusiawi. Upah minimum harus selaras dengan biaya hidup (living cost), bukan semata laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
3. Pencabutan PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang Pekerja Alih Daya Regulasi ini dinilai menjadi landasan legal maraknya outsourcing, sehingga pencabutannya menjadi syarat mutlak untuk memastikan perlindungan kerja tetap dan berkeadilan.
4. Mendorong Pengesahan UU Ketenagakerjaan Baru sesuai Putusan MK
Setelah sebagian ketentuan Omnibus Law Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi, buruh mendesak pemerintah dan DPR untuk menyusun UU baru yang berpihak pada rakyat pekerja sesuai amanat konstitusi.
Wahyu Hidayat menegaskan bahwa FSPMI Purwakarta siap berdiri di garda terdepan bila suara buruh kembali diabaikan pemerintah.
“Apabila tuntutan ini tidak didengar, maka kaum buruh se-Indonesia Raya, khususnya buruh FSPMI Purwakarta akan mempersiapkan Mogok Nasional, dimana mogok tersebut melibatkan 5 juta buruh di 38 provinsi, 300 kabupaten/kota, dan lebih dari 5.000 perusahaan yang akan menghentikan produksi secara serentak,” tegasnya.
Mogok nasional adalah “senjata terakhir” gerakan buruh. Jika terjadi, itu bukan hanya aksi demonstrasi, melainkan hentinya denyut produksi nasional. Sebuah pesan bahwa pekerja adalah tulang punggung ekonomi dan layak mendapat perlakuan adil.
Konsolidasi Nasional ini bukan hanya simbol kekuatan buruh, tetapi juga refleksi tentang masa depan tenaga kerja Indonesia dalam menuntut kebijakan yang tidak mengorbankan martabat manusia demi efisiensi ekonomi.
Gerakan ini menandai tekad bahwa kesejahteraan pekerja yang ingin memastikan hak hidup layak, kepastian kerja, dan masa depan generasi pekerja Indonesia.
Tahun boleh berganti, namun perjuangan untuk hidup layak akan terus berlanjut hingga hukum dan kebijakan berdiri tegak di sisi rakyat pekerja.