Kompleksitas Krisis Nasional: Siapa Sesungguhnya Mendulang Untung?

Kompleksitas Krisis Nasional: Siapa Sesungguhnya Mendulang Untung?
Mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa untuk mengkritisi kebijakan yang dinilai merugikan rakyat kecil. Foto: Bimo Abiyyu

Jakarta, KPonline – Bangsa ini seakan sedang berada di persimpangan jalan yang penuh ketidakpastian. Harapan rakyat untuk mendapatkan kesejahteraan dan keadilan kian hari semakin jauh dari kenyataan. Di layar televisi dan media sosial, kita disuguhi drama politik yang penuh ironi: saat rakyat menjerit karena harga kebutuhan pokok naik, para pejabat justru sibuk memperdebatkan tunjangan, fasilitas, dan privilese pribadi.

Kondisi negara kian memburuk bukan hanya karena persoalan ekonomi, tetapi juga akibat krisis moral, krisis empati, dan krisis kepemimpinan. Kompleksitas masalah yang dihadapi bangsa ini membuat situasi semakin kacau dan sulit dikendalikan. Di satu sisi rakyat menuntut perubahan yang nyata, namun di sisi lain elit politik tampak sibuk mengamankan kepentingannya masingmasing. Makanya tak heran bila kemarahan publik semakin membesar, dan aksi-aksi demonstrasi muncul di berbagai daerah sebagai ekspresi frustrasi.

Kebijakan yang Tidak Bajik

Segala bentuk kebijakan tentu memiliki konsekuensi, tetapi ketika kebijakan disusun tanpa transparansi, tanpa melibatkan partisipasi publik, dan hanya menguntungkan segelintir orang, maka hal itu tidak lagi bisa disebut sebagai upaya mensejahterakan rakyat justru berubah menjadi bentuk pengkhianatan terhadap mandat demokrasi.

Kenaikan tunjangan DPR menjadi potret paling telanjang dari persoalan ini. Publik yang setiap hari menghadapi beban hidup berat, dari naiknya biaya pendidikan hingga lonjakan harga kebutuhan pokok, justru dipaksa menyaksikan wakil rakyat menambah tunjangannya sendiri. Sikap yang lebih menyakitkan: sejumlah anggota DPR malah bergembira ria, berjoget di ruang sidang seolah tidak ada krisis moral yang sedang mereka ciptakan dan muncul pernyataan kontroversial dari salah seorang legislator, Syahroni, yang menyebut masyarakat “tolol” hanya karena menggaungkan narasi Bubarkan DPR. Ucapan arogan itu sontak membakar emosi publik. Bagaimana mungkin wakil rakyat yang seharusnya menjadi corong aspirasi justru merendahkan mereka yang bersuara?

Kejadian-kejadian ini menambah daftar panjang kebijakan dan sikap elit politik yang dianggap tidak bajik. Mulai dari ketimpangan serius antara tunjangan pejabat publik dan gaji tenaga honorer, kebijakan pajak yang membebani kelas menengah ke bawah, hingga sikap abai terhadap suara rakyat. Semua itu seakan menjadi bara yang menunggu percikan api. Kebijakan yang timpang bukan sekadar soal materi, tapi juga soal status dan hak untuk dihormati. Ketika tunjangan pejabat dinaikkan justru publik menangkapnya sebagai penghinaan simbolik terhadap kewajaran dan martabat kolektif mereka. Ini bukan hanya konflik ekonomi, melainkan konflik status: elit formal mempertahankan prestise material, sementara masyarakat merebut pengakuan moral.

Dari “Bubarkan DPR” ke Gelombang Aksi

Percikan api itu akhirnya muncul pada 25 Agustus, ketika tambahan tunjangan DPR resmi ditetapkan. Hari itu menjadi titik balik: narasi “Bubarkan DPR” merebak di jalanan dan media sosial. Mahasiswa, buruh, ojek online, hingga masyarakat sipil lainnya menemukan ruang bersama untuk menyalurkan amarah mereka.

Demonstrasi pertama berlangsung di Jakarta dan beberapa kota besar. Spanduk dan poster dengan tulisan Bubarkan DPR mendominasi. Isu ini cepat menjadi simbol perlawanan, karena publik merasa institusi legislatif sudah terlalu jauh meninggalkan rakyatnya. Namun, narasi yang awalnya fokus pada DPR berangsur bergeser. Insiden bentrokan dengan aparat kepolisian membuat tuntutan publik meluas. Bentrok yang terjadi di beberapa titik aksi mengakibatkan korban luka-luka, bahkan meninggal dunia. Puncaknya adalah tragedi seorang driver ojek online yang tewas setelah dilindas mobil barakuda Brimob. Rekaman peristiwa itu viral, menimbulkan gelombang kemarahan baru yang lebih dahsyat.

Sejak saat itu, fokus publik tidak lagi hanya pada DPR, melainkan pada aparat kepolisian yang dianggap represif dan tidak manusiawi. Alih-alih meredakan situasi dengan pernyataan Listio Sigit Prabowo yang meminta maaf kepada korban, selanjutnya yang terjadi justru pembatasan ruang demokrasi. Kamera CCTV di lokasi kejadian banyak yang tidak berfungsi, media televisi dilarang meliput aksi, dan berbagai saluran informasi dibatasi. Publik melihat ini sebagai bentuk pembungkaman yang nyata, sebuah indikasi bahwa pemerintah lebih sibuk menutup mata daripada membuka telinga.

Pada akhirnya hal tersebut justru memicu amarah lebih besar dibuktikan dengan banyaknya kantor-kantor polisi diserang massa, fasilitas umum ikut rusak, hingga penjarahan harta anggota DPR. Akan tetapi di tengah bergulirnya gelombang massa aksi, ada beberapa hal yang janggal. Mulai dari masif nya gerakan vandalisme dan mulusnya aksi premanisme yang merusak fasilitas umum dan menjarah hak-hak warga sipil di beberapa titik, sedangkan di saat bersamaan massa demonstrasi yang benar-benar menyampaikan aspirasinya dipukul mundur oleh aparat.

Bahkan Ketika 30 Agustus 2025 khususnya di Jakarta dan sekitarnya massa aksi dihimbau agar mengamankan dirinya masing-masing untuk beristirahat untuk menjernihkan pikiran dan kembali mempertajam analisisnya dalam menanggapi situasi publik. Tapi justru di waktu yang bersamaan banyak aksi bakar-bakaran di Jakarta dan beberapa kota di Indonesia sebagaimana disebutkan di atas seolah diciptakan. Massanya terorganisir dengan rapih dan menunjukan pesan kuat aparat melakukan pembiaran terhadap perusakan beberapa kantor DPRD, Polsek dan fasilitas umum. Pembiaran kondisi ini seakan agar tercipta kesan mencekam dan menakutkan di masyarakat.

Kompleksitas Kepentingan Elit

Di tengah amarah rakyat yang murni, ada pula variabel lain yang memperkeruh situasi: kepentingan elit politik dan oligarki. Gerakan besar yang terlihat murni sering kali menjadi ruang pertemuan berbagai agenda tersembunyi. Sejumlah faktor mulai menyelimuti, gagalnya negosiasi antara tokoh politik besar dengan jaringan bisnis lama, penangkapan besar-besaran oleh Kejaksaan Agung terhadap mafia migas, sawit, tambang, tanah, hingga cukong judi dan narkoba, membuat banyak bohir gelisah. Mereka yang selama ini merasa kebal hukum kini terguncang, dan tidak sedikit yang mencari cara untuk melawan balik.

Dari sisi politik, ketidaksenangan keluarga Jokowi atas tidak dilibatkannya Gibran dalam pemerintahan juga menjadi catatan penting. Ditambah lagi kebijakan Presiden Prabowo yang justru bertentangan dengan kepentingan Jokowi, seperti pengembalian jabatan Kunto, pemberian amnesti kepada Tom Lembong dan Hasto, serta wacana reshuffle terhadap figur-figur dekat lingkaran “Geng Solo” seperti Bahlil, Tito, Budi Arie, Dito Ariotedjo, hingga Kapolri Sigit. Belum selesai di situ, akumulasi kekecewaan kelompok civil society, buruh, mahasiswa, dan kelompok Islam terhadap Prabowo yang dianggap masih berada di bawah bayang-bayang Jokowi, ikut menyumbang energi demonstrasi. Elit global yang melihat kepentingannya terancam dengan arah kebijakan baru pun ikut resah.

Semua variabel ini akhirnya bertemu dalam momentum 25–28 Agustus. Tidak mengherankan bila demonstrasi yang awalnya sederhana—dengan slogan Bubarkan DPR—berubah menjadi ajang tarik-menarik berbagai kepentingan. Ada elit politik yang menunggangi aksi demi mengamankan kursi dari ancaman reshuffle, ada kelompok oposisi yang ingin memutus hubungan Prabowo-Jokowi, ada civil society yang mendorong perubahan konstitusional, hingga kelompok oportunis yang hanya mencari bayaran dan ikut ke arus yang paling kuat. Dengan kata lain, kemarahan rakyat yang sejati bercampur dengan permainan elit yang sarat intrik.

Kelompok elite ini bisa kita analisis sebagai ‘partai’, bukan hanya partai politik formal saja, melainkan jaringan kepentingan yang memiliki akses kekuasaan dan sumber daya. Mereka menggunakan demonstrasi yang tampak spontan sebagai arena negosiasi kekuasaan, upaya mempertahankan atau menguatkan kendali politik dan ekonomi mereka. Krisis bukan hanya konflik rakyat vs negara, melainkan konflik antar ‘partai’ elit yang berlomba untuk mengontrol narasi dan kebijakan.

Muscle Memori Probowo terhadap Aksi Massa Kembali Menggejolak

Konferensi pers Presiden Prabowo Subianto pada 31 Agustus 2025 di Istana Merdeka, bersama para ketua umum partai politik besar, adalah panggung politik yang ingin ditampilkan sebagai solusi atas krisis yang sedang membara. Namun bagi saya, sebagai bagian dari rakyat yang ikut merasakan denyut keresahan di jalanan sejak gelombang aksi 25 Agustus, konferensi ini justru memperlihatkan jarak yang makin lebar antara pemerintah dengan rakyatnya. Alih-alih merangkul suara masyarakat, Presiden justru memperlihatkan sikap trauma terhadap aksi massa.

Ia memilih jalan labeling: demonstrasi disebut makar, protes dianggap terorisme, sementara rakyat hanya menuntut ruang dialog dan tindak lanjut nyata dari aspirasi mereka. Label semacam itu bukan hanya menyakitkan, tetapi juga mengkhianati amanat demokrasi. Sejak kapan mahasiswa, buruh, pelajar, driver ojek online hingga masyarakat kecil yang turun ke jalan disebut makar? Sejak kapan jeritan rakyat yang menolak ketidakadilan dilabeli sebagai terorisme? Yang kita butuhkan adalah ruang dialog, bukan stigma, yang kita tuntut adalah perubahan kebijakan,bukan Tindakan represi dan kriminalisasi.

Presiden memang mengumumkan pencabutan tunjangan rumah Rp50 juta per bulan bagi anggota DPR, serta moratorium perjalanan dinas luar negeri. Sekilas tampak seperti kemenangan rakyat, seolah suara jalanan berhasil menekan istana. Tapi mari kita jujur: apa yang diumumkan itu hanya sekadar ”omon-omon” yang belum punya pijakan hukum. Tanpa kejelasan timeline, tanpa mekanisme eksekusi, tanpa transparansi anggaran, semua itu bisa saja hanya menjadi gimik untuk meredakan amarah sesaat. Kita sudah terlalu sering dikecewakan janji-janji semacam ini. Rakyat tidak butuh basa-basi. Rakyat butuh kepastian. Kalau benar tunjangan itu dicabut, tunjukkan bukti nyata: mana pos anggaran yang dialihkan, kemana dana itu digunakan, kapan mulai berlaku. Kalau tidak, publik hanya melihat ini sebagai strategi penguasa untuk meredam gejolak tanpa berniat sungguh-sungguh berubah.

Hal yang paling menyesakkan dada adalah cara negara memperlakukan rakyatnya. Data dari LBH, Lokataru, Komnas HAM hingga pemberitaan media internasional jelas: sedikitnya 10 orang tewas, ratusan ditangkap, bahkan korban paling mengiris hati adalah Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang tewas sengaja di lindas kendaraan taktis saat aparat membubarkan massa di Jakarta. Di Makassar, tiga orang meregang nyawa ketika massa menyerbu DPRD. Angka-angka itu bukan statistik belaka mereka adalah nyawa manusia, warga negara, sesama kita yang kehilangan hidupnya di jalanan karena memilih bersuara.

Pertanyaannya bagaimana respon dari Prabowo? Mirisnya, bukan menunjukkan duka, bukan empati kepada keluarga korban, bukan maaf yang dihaturkan melainkan justru pemberian kenaikan pangkat bagi aparat yang terluka. Kebijakan ini benar-benar melukai hati masyarakat. Di saat rakyat berduka, Prabowo dengan bangga memberi penghargaan kepada mereka yang terlibat dalam represi. Seolah-olah luka rakyat tidak ada artinya dibandingkan luka aparat. Seolah-olah darah rakyat hanyalah konsekuensi biasa dari ambisi mempertahankan wibawa kekuasaan. Saya rasa ini rasa ini adalah penghinaan yang sangat luar biasa terhadap masyarakat terlebih korban beserta keluarga.

Saya melihat jelas bagaimana Presiden terjebak pada trauma kekuasaan. Aksi massa dianggap ancaman negara, bukan suara rakyat. Demonstrasi dibaca sebagai makar, bukan koreksi. Padahal, konstitusi negeri ini menjamin hak rakyat untuk berkumpul, berserikat, dan menyampaikan pendapat di muka umum. Bila semua itu dilabeli sebagai kejahatan, lalu apa arti demokrasi? Apakah kita sedang dipaksa kembali ke era ketika suara rakyat dibungkam dengan stigma subversif? Sikap trauma ini berbahaya. Ia menutup ruang dialog, memperbesar jurang antara negara dan rakyat, dan memperpanjang siklus protes. Bukannya meredam, trauma kekuasaan justru melahirkan represi, dan represi selalu melahirkan perlawanan yang lebih besar.

Mari kita ingatkan kembali, rakyat yang turun ke jalan membawa tuntutan yang sangat jelas. 17+8 Tuntutan Rakyat yang beredar luas di media sosial adalah refleksi dari aspirasi akar rumput, yang diberikan tenggat waktu hingga 31-08-2025 yang sampai saat ini belum ada pernyataan sikap dan tindak lanjut dari tuntutan tersebut.

Hari-hari terakhir membuktikan bahwa rakyat tidak akan diam. Gelombang aksi mahasiswa, buruh, pelajar, hingga masyarakat sipil adalah bukti nyata bahwa demokrasi masih hidup di akar rumput. Meski istana menutup telinga, meski aparat menebar represi, meski stigma makar terus dilontarkan, suara rakyat tetap menggema. Dan jangan salah, setiap tetes darah rakyat yang tumpah hanya akan menjadi bahan bakar perlawanan. Setiap stigma yang dilemparkan hanya akan membuat rakyat makin yakin bahwa mereka berada di jalan yang benar. Setiap luka yang diabaikan hanya akan memperdalam jurang ketidakpercayaan kepada negara.

Pada akhirnya, pilihan ada di tangan Presiden. Apakah ia akan terus larut dalam trauma kekuasaan, melihat rakyat sebagai musuh, dan membiarkan luka bangsa ini semakin dalam? Ataukah ia akan berani membuka ruang dialog, memenuhi tuntutan rakyat, dan menulis sejarah sebagai pemimpin yang benar-benar mendengar? Saya, dan mungkin jutaan rakyat lain, hanya ingin satu hal: dialog dan tindakan nyata. Jangan lagi ada stigma makar. Jangan lagi ada penghinaan terhadap korban dengan memberi penghargaan kepada pelaku represi. Jangan lagi ada omon-omon yang hanya jadi penenang sesaat,kita cukup muak dengan kalimat penenang.

“Sejarah selalu mencatat, kekuasaan yang menutup mata pada rakyat adalah kekuasaan yang rapuh. Sementara rakyat yang berani bersuara adalah rakyat yang sedang menuliskan masa depan.”