Koalisi Serikat Pekerja dan Partai Buruh Gelar Aksi di DPR: Said Iqbal Sindir Kesenjangan Upah dan Tunjangan DPR

Koalisi Serikat Pekerja dan Partai Buruh Gelar Aksi di DPR: Said Iqbal Sindir Kesenjangan Upah dan Tunjangan DPR
Presiden KSPI sekaligus Partai Buruh, Said Iqbal dalam konferensi pers di depan Gedung DPR RI

Jakarta, KPonline – Ribuan buruh yang tergabung dalam Koalisi Serikat Pekerja bersama Partai Buruh (KSP-PB) menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta. Kamis, (28/8). Aksi ini digelar membawa enam isu utama. Pertama, mendesak penghapusan sistem outsourcing dan menolak praktik upah murah. Kedua, menuntut kenaikan upah minimum tahun 2026 sebesar 8,5 hingga 10,5 persen.

Ketiga, mendesak pencabutan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021 yang sudah dinyatakan tidak berlaku menyusul keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Keempat, menuntut pemerintah segera menghentikan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan membentuk Satuan Tugas (Satgas) PHK.

Isu kelima, reformasi sistem perpajakan. Buruh meminta pemerintah menaikkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari Rp4,5 juta menjadi Rp7,5 juta per bulan. Selain itu, mereka menuntut penghapusan pajak atas pesangon, Tunjangan Hari Raya (THR), dan Jaminan Hari Tua (JHT). Said Iqbal juga menyoroti adanya diskriminasi pajak bagi pekerja perempuan yang menikah, yang dinilai merugikan.

Keenam, buruh mendesak pengesahan rancangan undang-undang ketenagakerjaan yang baru sesuai mandat MK paling lambat dua tahun sejak putusan. Hingga kini, hampir satu tahun sejak keputusan MK Nomor 168 Tahun 2024 dimenangkan Partai Buruh, pemerintah belum membentuk RUU tersebut.

Presiden Partai Buruh sekaligus Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal dalam orasinya, menyoroti keputusan DPR RI yang baru-baru ini menaikkan tunjangan perumahan anggotanya hingga Rp50 juta per bulan, atau sekitar Rp600 juta per tahun.

“Bayangkan, untuk sewa rumah saja Rp600 juta setahun. Rumah yang seperti apa? Sementara rakyat pekerja, saudara-saudara kita, masih ada yang hanya mampu bayar Rp300 ribu per bulan untuk kos-kosan sederhana, bahkan ada yang tinggal di rumah petak sempit.” tegasnya.

Iqbal kemudian membandingkan pendapatan pekerja dengan gaji dan tunjangan anggota DPR. “Upah minimum rata-rata di Indonesia sekitar Rp3,5 juta. Sementara gaji plus tunjangan DPR bisa mencapai Rp104 juta per bulan. Artinya, 30 kali lipat dari upah buruh. Sakit rasanya hati rakyat melihat ketidakadilan ini,” ucapnya.

Lebih lanjut, Iqbal juga mengkritik rencana kenaikan upah minimum yang hanya 3 persen, atau sekitar Rp105 ribu per bulan.

“Kenaikan itu cuma sembilan dolar per bulan! Saudara-saudara, coba bandingkan. Satu kali makan di Hotel Mulia, di belakang gedung DPR ini, harganya bisa Rp300 ribu – Rp400 ribu. Artinya, hasil perjuangan berbulan-bulan buruh hanya sebanding dengan setengah porsi makan pejabat di hotel mewah.”

Iqbal menegaskan, perjuangan buruh bukan semata-mata untuk kepentingan ekonomi, tetapi juga keadilan sosial. Ia menekankan bahwa buruh adalah tulang punggung bangsa yang berhak atas kehidupan layak.

“Kita yang bekerja, kita yang membayar pajak, kita yang menghidupi negara ini. Tapi justru kita yang diperas tenaganya, sementara mereka hidup dalam kemewahan. Inilah sebabnya kita turun ke jalan!” teriaknya.

Di akhir orasi, Iqbal mengajak seluruh buruh untuk terus bersatu dalam perjuangan. “Hidup buruh! Hidup rakyat! Jangan pernah menyerah, karena kita berjuang bukan hanya untuk diri kita, tetapi juga untuk keluarga kita, untuk masa depan anak-anak kita, dan untuk Republik Indonesia tercinta. ”

Koalisi Serikat Pekerja bersama Partai Buruh menyatakan akan terus melakukan aksi-aksi lanjutan jika pemerintah tidak segera merespons tuntutan buruh, termasuk kenaikan upah minimum yang layak, jaminan sosial yang adil, dan penghapusan kebijakan yang merugikan pekerja.