Dalam sejarah peradaban modern, gerakan buruh bukan sekadar kisah protes jalanan atau unjuk rasa di depan pabrik. Ia adalah denyut nadi perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang tak jarang mengguncang fondasi negara. Dari Amerika Serikat hingga Indonesia, dari Eropa hingga Asia, suara buruh telah memaksa para penguasa membuka mata terhadap ketidakadilan yang menimpa kaum pekerja.
Salah satu peristiwa yang paling dikenang adalah Haymarket Affair atau tragedi Haymarket di Chicago, Amerika Serikat, pada tahun 1886. Aksi mogok massal untuk menuntut jam kerja delapan jam berubah menjadi suatu tragedi ketika menewaskan pengunjuk rasa. Meskipun berakhir dengan penindasan brutal, peristiwa ini justru melahirkan Hari Buruh Internasional (May Day), yang kini diperingati di seluruh dunia sebagai simbol perjuangan kelas pekerja.
Kemudian, di Prancis, gerakan buruh dan mahasiswa pada Mei 1968 berhasil membuat pemerintahan Charles de Gaulle hampir tumbang. Dipicu oleh ketidakpuasan atas kondisi kerja, upah rendah, dan kebijakan konservatif pemerintah, jutaan buruh melakukan pemogokan nasional. Pabrik-pabrik berhenti beroperasi, jalanan Paris lumpuh, dan negara nyaris dalam kekacauan. Meskipun pada akhirnya pemerintah berhasil meredam gejolak tersebut, gerakan ini memaksa perubahan sosial besar-besaran, termasuk perbaikan kondisi kerja dan kebebasan sipil yang lebih luas.
Selanjutnya, Polandia, dimana gerakan buruh malah menjadi pemantik runtuhnya rezim Komunis. Serikat buruh independen Solidarnosc (Solidaritas) yang dipimpin Lech Wałęsa lahir di galangan kapal Gdansk pada 1980 sebagai perlawanan terhadap rezim otoriter. Gerakan ini menuntut hak-hak buruh, demokrasi, dan keadilan sosial. Setelah bertahun-tahun menghadapi represi, Solidarnosc akhirnya berperan penting dalam transisi damai Polandia menuju demokrasi pada akhir 1980-an.
Sedangkan, di Indonesia, gelombang reformasi 1998 tidak hanya dimotori oleh mahasiswa, tetapi juga oleh kaum buruh yang menuntut penghapusan rezim Orde Baru yang represif. Buruh-buruh di kawasan industri Jakarta, Bekasi, dan Batam turun ke jalan menuntut upah layak, penghapusan sistem kerja kontrak yang merugikan, serta pembebasan serikat buruh dari kontrol negara. Setelah rezim Soeharto tumbang, buruh mendapatkan ruang demokratisasi yang lebih luas dengan lahirnya berbagai serikat buruh independen dan revisi undang-undang ketenagakerjaan.
Berlanjut ke Hongkong, dimana baru-baru ini, pada 2019, pekerja di Hong Kong turut ambil bagian dalam gelombang protes besar-besaran melawan RUU Ekstradisi ke China daratan. Para buruh dari sektor transportasi, teknologi, dan layanan publik melakukan pemogokan massal, menghentikan sebagian besar kegiatan ekonomi di kota tersebut. Meskipun tuntutan mereka bersifat politik, keterlibatan buruh memperlihatkan kekuatan kolektif kelas pekerja dalam menentang kebijakan otoriter.
Dari rangkaian peristiwa-peristiwa tersebut, satu benang merah terlihat jelas bahwa gerakan buruh mampu melampaui sekadar persoalan ekonomi. Ia menyentuh ranah politik, sosial, bahkan menjadi penentu arah bangsa. Ketika buruh bersatu dalam solidaritas dan mengorganisir diri secara kolektif, kekuatan mereka mampu melumpuhkan industri, menggoyahkan pemerintahan, hingga menggugah kesadaran global tentang pentingnya keadilan sosial.
Kini di era digital, tantangan buruh berubah bentuk. Fleksibilitas kerja, outsourcing global, dan algoritma yang menentukan jam kerja menjadi tantangan baru. Namun semangat perlawanan tetap hidup. Di Indonesia, gerakan menolak Omnibus Law, di Korea Selatan aksi mogok pekerja IT, hingga di Amerika Serikat perjuangan pekerja Amazon dan Starbucks untuk membentuk serikat, menunjukkan bahwa suara buruh belum padam.
Dan sejarah membuktikan, negara bisa berguncang bukan hanya oleh perang atau kudeta militer, tapi juga oleh suara lantang buruh yang menuntut keadilan.