Jakarta, KPonline-Ribuan buruh dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) memadati halaman Mahkamah Agung (MA) RI, Selasa,(18/11/2025). Massa datang dari berbagai daerah Bekasi, Karawang, Tangerang, hingga Purwakarta dengan satu tuntutan tegas yaitu Mahkamah Agung harus menolak kasasi yang diajukan PT. Yamaha Musik Manufacturing Indonesia, setelah perusahaan itu kalah di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Bandung terkait kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) dua pengurus serikat, Slamet Bambang Waluyo dan Wiwin.
Dalam orasi, pernyataan keras datang dari Abdul Bais, Ketua Pimpinan Pusat (PP) Serikat Pekerja Elektronik Elektrik (SPPE) FSPMI, yang menyebut kasus ini ada indikasi kriminalisasi yang terang benderang terhadap aktivis serikat pekerja.
Abdul Bais menyebut PHK terhadap Slamet (Ketua PUK) dan Wiwin (Sekretaris PUK) sebagai langkah sistematis untuk membungkam gerakan pekerja.
“Atas kasus yang dialami Slamet dan Wiwin, ini bukan sekadar PHK. Ini kriminalisasi! Bahkan PUK (Pimpinan unit kerja) yang lainnya pun pasti pernah mengalami pola yang sama. Ini kezaliman,” serunya dari atas mobil komando.
Bais pun menegaskan bahwa sejak keduanya di-PHK, perusahaan tidak membayarkan upah mereka. Bahkan tunjangan dan fasilitas lainnya terhenti begitu saja.
“Ketua dan sekretaris tidak digaji sejak di-PHK. Ini bukan hanya pelanggaran, ini penghinaan terhadap martabat buruh!,” pungkasnya.
Kemudian menurutnya, Pada 3 September lalu, Pengadilan Hubungan Industrial Bandung telah memutuskan bahwa Slamet dan Wiwin harus dipekerjakan kembali. Namun Yamaha justru mengambil langkah perlawanan dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, sebuah langkah yang menurut FSPMI hanya menunjukkan keberpihakan pada kekuasaan dan uang.
“Yamaha mau coba-coba menggoyang keadilan dengan uang dan kekuasaannya. Tapi buruh akan terus berjuang,” ujar Bais
Selanjutnya, kata Bais, dalam rangkaian proses sengketa, berbagai pihak pemerintahan telah turun tangan:
Wakil Bupati Bekasi
•Bupati Bekasi
•Forkopimda
•DPRD Kabupaten Bekasi
Semua pihak telah memanggil Yamaha dan buruh untuk mencari jalan damai. Namun berkali-kali, Yamaha dinilai bersikeras menolak penyelesaian mufakat.
“Dari wakil bupati, bupati, sampai DPRD memanggil. Berkali-kali diminta damai. Tapi apa yang terjadi? Ditolak! Ditolak lagi! Ditolak lagi!,” kata Bais.
Kini kasus tersebut sudah berjalan delapan bulan. namun kenapa setelah putusan PHI dimenangkan, dimana salah satu putusan PHI menyatakan bahwa Perusahaan wajib membayar upah yang belum dibayar dari Maret–September 2025 sebesar Rp170.545.508. Namun, upah dua pengurus serikat itu tetap tidak dibayarkan. Bahkan, yang lebih parah lagi, Yamaha disebut telah menghentikan pemotongan iuran anggota (COS) yang selama ini menjadi hak organisasi.
“Kami dijadikan pengemis! Kami harus keliling minta iuran anggota! Padahal anggota FSPMI di Yamaha itu 85 sampai 90 persen dari total karyawan!,” kecamnya.
Bais kembali menegaskan bahwa tindakan Yamaha bukan hanya melemahkan PUK FSPMI di perusahaan tersebut, tetapi menyerang secara langsung keberadaan FSPMI secara nasional.
“Ini bukan cuma melemahkan PUK. Ini serangan ke FSPMI secara keseluruhan. Dan hari ini massa datang bukan hanya dari Bekasi, Karawang, Purwakarta, hingga Tangerang semuanya turun!”
Aksi hari ini menegaskan satu hal bahwa gerakan buruh, terutama FSPMI, tidak akan tunduk oleh kekuatan modal. Mereka memahami bahwa serangan terhadap dua pengurus adalah serangan terhadap seluruh anggota.
“Ketika satu anggota kita diperlakukan tidak adil, maka seluruh anggota akan merasakan sakit yang sama. Kita akan terus melawan!” ujar Bais.
Singkatnya, massa Buruh FSPMI mengirim pesan jelas kepada Mahkamah Agung bahwa hukum harus berpihak pada keadilan, bukan pada uang. Kasasi Yamaha harus ditolak. Putusan PHI harus ditegakkan. Slamet dan Wiwin harus dipekerjakan kembali.