Purwakarta, KPonline – Ahmad Apandi Asgar, seorang pemuda berprestasi dari Desa Panyindangan, Kecamatan Sukatani, kembali menjadi sorotan setelah impiannya untuk melanjutkan studi di Universitas Imam Syafi’i, Yaman, terhalang kendala biaya. Asgar, yang lahir di tengah keluarga petani dengan kondisi ekonomi serba terbatas, berhasil meraih beasiswa dari Lembaga Rawi. Dari ratusan pendaftar se-Indonesia, hanya 20 orang yang diterima, dan Asgar adalah salah satu dari dua orang yang lolos dari Jawa Barat. Namun, ia masih harus mengumpulkan Rp30 juta untuk melunasi biaya keberangkatan dan administrasi yang totalnya mencapai Rp48 juta sebelum 30 September 2025.
Peristiwa ini mengingatkan pada kasus serupa yang dialami Nata Sutisna pada tahun 2019, yang juga terkendala biaya tiket pesawat untuk keberangkatan beasiswa ke Tunisia. Kedua kasus ini menunjukkan bahwa pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) tidak kalah penting dari pembangunan fisik.
Menanggapi situasi ini, Asgar didampingi tim dari BELA PURWAKARTA dan sejumlah aktivis bertemu dengan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Purwakarta, Kyai H.M. John Dien. Kyai John Dien, yang juga merupakan Ketua Forum Kerukunan Ummat Beragama (FKUB) Kabupaten Purwakarta, menyambut baik kedatangan Asgar dan timnya. Beliau menyatakan komitmen untuk membantu dan mengajak seluruh masyarakat Purwakarta untuk bergotong royong. “Mari permudah langkah Asgar,” ujarnya.
Kyai John Dien berharap, dengan kapasitasnya sebagai figur pemersatu, ia bisa menjadi jembatan untuk mendapatkan solusi dan membangkitkan solidaritas sosial masyarakat.
Sementara itu, Aa Komara, Founder Bela Purwakarta, menyoroti pentingnya solusi sistemik agar kejadian ini tidak terulang. Ia mengungkapkan bahwa pihaknya telah mengusulkan kepada Pemkab Purwakarta agar mengalokasikan anggaran Biaya Tidak Terduga (BTT) non-kebencanaan dalam APBD.
Menurutnya, selama ini BTT hanya tersedia untuk kebencanaan, padahal banyak kebutuhan mendesak warga, seperti beasiswa, yang juga bersifat tidak terduga. “Kami berharap Pemkab segera menindaklanjuti usulan ini demi kepentingan yang lebih luas dan berjangka panjang,” kata Aa Komara. Ia menambahkan bahwa kebijakan ini dapat menjadi “Legacy” dari pemerintahan sekarang.
Kondisi yang dialami Asgar juga mendapat tanggapan tajam dari Wahyu Hidayat, Ketua Pimpinan Cabang (PC) Serikat Pekerja Automotif Mesin dan Komponen (SPAMK) Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) dan sekaligus pendiri spirit Binokasih. Ia mengkritik ketidakadilan dalam alokasi anggaran pendidikan di Indonesia.
“Pemerintah mengalokasikan 20% anggaran pendidikan dari APBN… Namun, ironinya, alokasi dana ini tidak merata,” ujarnya.
Wahyu memaparkan bahwa dana pendidikan lebih banyak mengalir ke jalur pendidikan aparatur negara (sekolah kedinasan) yang hanya melayani segelintir siswa, sementara jalur pendidikan lain seperti pesantren seringkali diabaikan. “Asgar harus ‘mengemis Rp48 juta’ untuk kuliah di Yaman karena ia tidak memiliki akses ke ‘kolam’ beasiswa formal,” tegas Wahyu.
Ia berpendapat bahwa yang salah bukanlah Asgar, melainkan “sistem yang korup” yang memaksa anak muda berprestasi menjadi “pengemis di tengah limpahan dana.”