Subang, KPonline – Langit senja, menggantung tenang di atas Lembur Pakuan. Suara-suara yang kerap dianggap nyaring dan merepotkan akhirnya menemukan ruangnya.
Sekitar empat puluh perwakilan dari gabungan serikat pekerja dan buruh se-Jawa Barat yang datang pada selasa (29/7), bukan sekadar membawa keluhan, tetapi harapan yang telah lama dipupuk dalam kantong-kantong keresahan pabrik yang tak pernah bisa tertidur.
Mereka tidak mengenakan jas, tetapi semangat mereka lebih berkilau dari seragam pejabat. Mereka datang membawa surat bernomor: 050/SP/SB/VII/2025 dan bukan selembar kertas kosong, tapi lembar yang telah menyimpan suara-suara teredam dari ruang-ruang produksi dan pabrik yang sunyi selepas PHK. Mereka datang karena tahu, karena jika bukan sekarang, maka kapan lagi? Jika bukan kepada gubernur, kepada siapa lagi?
Di sana, di aula sederhana yang memancarkan aura masa silam dan masa depan sekaligus, pertemuan itu dibuka oleh Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat, Dr. Teppy Wawan Dharmawan. Dengan ketenangan birokrat yang telah banyak bersentuhan dengan dunia nyata, ia menyambut para buruh dengan hangat, mengatakan bahwa pertemuan ini bukan sekadar protokol, melainkan “forum strategis untuk menjahit kembali hubungan sosial yang lama koyak oleh ketimpangan.”
Lalu mengalirlah suara yang telah lama ditahan-tahan, suara lantang namun jernih dari beberapa para perwakilan Serikat Pekerja. Mereka tidak berbicara untuk dirinya sendiri, tapi untuk ribuan pekerja yang mungkin malam itu masih memikirkan anak-anaknya yang harus makan besok. Ia bicara tentang dampak pandemi yang belum sembuh betul, tentang lonjakan tarif impor yang memukul sektor manufaktur, tentang ribuan PHK yang berubah jadi angka dingin dalam laporan, tetapi panas di dada yang mengalaminya.
“Kita butuh Satgas PHK!” seru salah satunya. Sebuah tim cepat tanggap, bukan untuk menghindari protes, tapi untuk menyelamatkan masa depan pekerja yang dicabut paksa dari mata pencahariannya.
Ia pun melanjutkan, “Kita perlu Desk Ketenagakerjaan, ruang untuk menyelesaikan sengketa dengan martabat, bukan tekanan. Dan outsourcing? Sudah saatnya diakhiri di tingkat daerah, karena upah dan nasib tak boleh lagi menjadi bahan lelang murah”.
Gubernur mendengarkan dengan saksama. Tidak hanya anggukan basa-basi, tapi juga tatapan yang menyimpan catatan.
Lalu datang suara yang lebih dalam lagi. Suara yang kerap diabaikan karena dianggap minoritas, tapi malam itu, ia menggema. Sebut saja Ima, pekerja perempuan dari Jawa Barat, melangkah ke depan. Ia tidak datang sebagai simbol gender, tapi sebagai pelindung bagi mereka yang sering dipinggirkan oleh sistem kerja yang patriarkal dan semena-mena.
“Masih banyak perempuan yang tak bisa bersuara saat dilecehkan di tempat kerja,” ujarnya. Ia menuntut agar cuti menstruasi tak hanya diatur dalam pasal, tapi juga dijalankan tanpa diskriminasi. Ia meminta kesetaraan bukan sebagai slogan, tetapi dalam angka, yakni; upah, tunjangan, promosi.
“Kami bukan angka statistik. Kami adalah tulang punggung yang menopang ekonomi keluarga dan bangsa,” tegasnya.
Ia bahkan mengusulkan agar kebijakan internal perusahaan wajib melibatkan serikat pekerja untuk mencegah kekerasan seksual. Dan lebih jauh, ia menyarankan agar upah minimum sektoral diberlakukan. Agar industri berat dan ringan tak disamaratakan seperti beban yang dibagi tak adil.
Lalu tibalah giliran orang yang ditunggu: Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat. Di hadapan para buruh, ia tidak berdiri di atas mimbar tinggi. Ia memilih berdiri sejajar. Suaranya tenang, tapi mengandung janji-janji yang tak dilontarkan sembarangan.
“Saya dengar. Saya catat. Saya akan gerakkan dinas dan perangkat daerah. Kita mulai dengan pendataan korban PHK. Mereka harus masuk dalam sistem bursa kerja agar bisa diarahkan ke industri yang sedang tumbuh, seperti di Indramayu”
Ia menambahkan, “Upah minimum sektoral itu masuk akal. UMK selama ini memang menimbulkan ketimpangan. Kita akan rumuskan ulang”
Untuk isu kekerasan seksual, gubernur menyarankan menggunakan sistem pengaduan cepat melalui WhatsApp, agar korban tak perlu menghadapi birokrasi berlapis saat luka mereka masih basah.
Sekitar 40 menit waktu berlalu. Tapi ruang itu seakan membeku dalam sejarah. Sebab hari itu bukan hanya tentang bicara. Hari itu adalah tentang didengar. Dan lebih dari itu: tentang dipercayai. Kemudian, Pertemuan ditutup dengan foto bersama.
Audiensi ini bukan akhir. Ia adalah awal dari sebuah narasi antara buruh dan pemerintah. Narasi kolaborasi, bukan konfrontasi; narasi kesetaraan, bukan subordinasi. Jalan masih panjang, tapi hari itu, satu langkah telah diambil bersama.
“Suara buruh bukan hanya teriakan. Ia adalah pesan. Dan hari itu, Subang menjadi saksi bahwa pesan itu diterima, bukan diabaikan”