Ketika Serikat Pekerja Jadi Pemegang Saham

Ketika Serikat Pekerja Jadi Pemegang Saham

Bayangkan sebuah skenario dimana serikat pekerja tidak hanya berperan sebagai wadah perjuangan hak-hak buruh, tetapi juga duduk sejajar dengan manajemen sebagai pemegang saham perusahaan. Bukan hanya sebagai pengawas kebijakan ketenagakerjaan, melainkan ikut menentukan arah bisnis, investasi, hingga pembagian keuntungan. Apakah ini akan menjadi model baru hubungan industrial di Indonesia?

Fenomena serikat pekerja memiliki saham di perusahaan bukan hal baru di dunia internasional. Dibeberapa negara maju, skema Employee Stock Ownership Plan (ESOP) bahkan sudah menjadi bagian dari budaya korporasi. Namun, bila serikat pekerja secara kolektif membeli saham, konsekuensinya lebih jauh yaitu mereka tidak sekadar “memiliki,” tetapi juga ikut mengontrol jalannya perusahaan.

Dengan status sebagai pemegang saham, serikat pekerja punya posisi tawar yang jauh lebih kuat. Tidak lagi hanya mengetuk pintu direksi saat menuntut kenaikan upah atau perbaikan kondisi kerja, melainkan ikut hadir di ruang rapat pemegang saham.

“Kalau buruh ikut jadi pemegang saham, maka demokrasi ekonomi benar-benar berjalan. Bukan hanya pemilik modal yang bicara, tapi juga mereka yang setiap hari menggerakkan roda produksi”

Namun, jalan ini bukan tanpa risiko. Posisi ganda serikat pekerja sebagai pejuang hak buruh sekaligus pemilik modal bisa memunculkan dilema.

Dimana disatu sisi, mereka ingin meningkatkan kesejahteraan pekerja lewat kenaikan upah dan jaminan kerja. Tapi disisi lain, sebagai pemegang saham, mereka tentu ingin perusahaan sehat dan untung, yang bisa berarti menekan biaya, termasuk ongkos tenaga kerja.

Pertanyaan pun akhirnya muncul, apakah serikat pekerja bisa konsisten berpihak pada buruh, atau justru perlahan ikut larut dalam logika kapitalisme?

Salah satu keuntungan besar dari keterlibatan serikat pekerja sebagai pemegang saham adalah potensi menekan praktik union busting. Selama ini, tidak jarang perusahaan berupaya melemahkan serikat pekerja dengan berbagai cara.

Namun, bila serikat pekerja ikut memiliki saham, posisi mereka menjadi sah secara legal dan sulit diabaikan. Suara mereka bukan sekadar tuntutan di jalanan, melainkan bagian dari keputusan formal dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Skema ini juga bisa membuka ruang dialog yang lebih sehat. Hubungan industrial tidak lagi dilihat sebagai pertarungan antara buruh dan pengusaha, melainkan kerja sama kolektif untuk memastikan perusahaan tumbuh dan semua pihak diuntungkan.
“Kalau serikat pekerja punya saham, mereka akan lebih paham situasi keuangan perusahaan. Transparansi meningkat, sehingga tuntutan yang muncul pun lebih rasional dan berbasis data”

Di Amerika Serikat, lebih dari 6.000 perusahaan menerapkan ESOP dengan jutaan pekerja menjadi pemilik saham. Di Jerman, sistem co-determination memberi kursi bagi wakil buruh di dewan pengawas perusahaan. Bahkan di Jepang, ada konsep “lifetime employment” yang diimbangi dengan kepemilikan saham pekerja.

Indonesia bisa mengambil pelajaran dari praktik tersebut. Namun, tentu harus disesuaikan dengan regulasi ketenagakerjaan dan iklim investasi di tanah air.

Pertanyaan besar kemudian muncul, apakah serikat pekerja di Indonesia siap untuk masuk ke ranah kepemilikan saham? Dari sisi modal, tentu bukan hal mudah. Namun, bila dilakukan secara kolektif dan bertahap, bukan tidak mungkin terwujud.

Lebih dari sekadar mimpi, ide ini bisa menjadi langkah tepat untuk memperkuat posisi buruh di tengah arus globalisasi dan liberalisasi ekonomi.

“Ini bukan sekadar tentang memiliki saham, tapi tentang menggeser paradigma. Dari buruh yang hanya menjadi objek kebijakan, menjadi subjek yang ikut menentukan arah masa depan perusahaan”