Jakarta, KPonline – Di tengah bayang-bayang kapitalisme global, kemenangan Zohran sebagai Wali Kota New York menghadirkan sesuatu yang jarang kita saksikan di panggung politik modern: politik yang kembali memiliki makna.
Di kota yang identik dengan gedung pencakar langit dan kekuasaan korporasi, muncul seorang pemimpin yang menolak tunduk pada pasar, yang menolak politik menjadi sekadar alat dagang, dan yang berani berkata bahwa kehidupan manusia jauh lebih penting dari angka pertumbuhan ekonomi.
Zohran datang dari kelas pekerja, bukan dari dinasti politik atau jaringan bisnis besar. Ia tidak dibentuk oleh uang, melainkan oleh pengalaman, penderitaan, dan keberpihakan. Di bawah kepemimpinannya, kota New York menemukan suara baru; suara kaum buruh, minoritas, dan warga miskin yang selama ini terpinggirkan oleh kebijakan neoliberal yang menuhankan laba.
Kemenangan ini bukan semata kemenangan personal. Ia adalah kemenangan ide, kemenangan gagasan bahwa politik masih bisa menjadi alat pembebasan. Bahwa politik dapat mengembalikan martabat manusia, ketika ia berpihak pada rakyat, bukan pada modal.
Zohran menolak kota yang hanya indah bagi investor, tapi kejam bagi penghuninya. Ia berbicara tentang hak atas perumahan, akses kesehatan universal, transportasi publik yang layak, dan kerja yang manusiawi, hal-hal yang sering kali dianggap “tidak realistis” dalam logika kapitalisme. Namun justru di situlah letak keberaniannya: ia melawan arus dan membuktikan bahwa politik progresif dapat menang bahkan di jantung kapitalisme.
Kemenangan Zohran mengajarkan satu hal: politik hanya akan bermakna jika ia berpihak. Dan keberpihakan sejati hanya bisa lahir dari keberanian untuk menentang sistem yang menindas rakyat.
*Menuju 2029: Saatnya Politik Kembali ke Rakyat*
Kemenangan Zohran di New York adalah cermin bagi kita di Indonesia, khususnya bagi mereka yang masih percaya bahwa demokrasi bisa diselamatkan dari cengkeraman oligarki.
Di negeri ini, politik kerap kehilangan rohnya. Ia berubah menjadi permainan kekuasaan tanpa arah moral, di mana rakyat hanya menjadi alat, bukan tujuan. Pemilu menjadi festival baliho, bukan arena ide. Partai menjadi kendaraan, bukan gerakan.
Namun di tengah apatisme itu, masih ada bara kecil yang menyala keinginan rakyat untuk merebut kembali kedaulatannya. Berjuang dalam arena Pemilu, Partai Buruh membawa api itu, menghidupkannya menjadi gerakan yang tumbuh dari bawah, dari ruang-ruang kerja, dari kampung, dari pasar, dari jalanan, dari kehidupan nyata rakyat pekerja.
Politik yang sejati bukan soal siapa yang berkuasa, tetapi untuk siapa kekuasaan digunakan.
Pemilu harus menjadi momentum untuk mengakhiri politik transaksional yang menggadaikan masa depan bangsa kepada pemilik modal.
Inilah saatnya rakyat kembali menjadi subjek politik menentukan arah kebijakan, membangun solidaritas kelas, dan merebut ruang pengambilan keputusan yang selama ini hanya dikuasai elit.
Kemenangan Zohran memberi inspirasi bahwa perubahan bukan utopia. Ia lahir dari kerja kolektif, dari keberanian untuk berbeda, dan dari kesadaran bahwa demokrasi hanya hidup bila rakyat percaya pada kekuatannya sendiri.
Kita tidak menunggu pemimpin datang dari atas; kita sedang menumbuhkannya dari bawah.
Pemilu bukan sekadar perebutan kursi, melainkan pertarungan nilai: antara politik kemanusiaan melawan politik pasar, antara solidaritas melawan individualisme, antara harapan melawan ketakutan. Dan di medan pertarungan itu, Partai Buruh berdiri di sisi yang benar di sisi rakyat.
*Partai Buruh: Jalan Baru Perubahan*
Partai Buruh lahir dari kesadaran bahwa demokrasi tanpa keadilan sosial hanyalah ilusi.
Bahwa suara rakyat tidak akan berarti jika struktur ekonomi dan politik tetap dikuasai segelintir orang kaya yang menentukan harga, upah, bahkan nasib hidup kita.
Sebagai partai kelas pekerja, Partai Buruh bukan sekadar organisasi politik, melainkan wadah perjuangan yang menolak tunduk pada logika kapitalisme.
Kami percaya bahwa negara harus hadir untuk melindungi, bukan menjual rakyatnya. Bahwa kekuasaan publik harus digunakan untuk kesejahteraan, bukan keuntungan pribadi.
Partai Buruh berdiri untuk menegaskan kembali bahwa pekerja adalah tulang punggung bangsa, bukan pelengkap ekonomi.
Tanpa buruh, tidak ada produksi. Tanpa tani, tidak ada pangan. Tanpa rakyat kecil, tidak ada peradaban. Maka sudah seharusnya kebijakan publik berpihak pada mereka bukan pada korporasi yang menumpuk laba di atas penderitaan.
Kami tidak membawa slogan kosong, melainkan cita-cita besar: negara yang menjamin upah layak, jaminan sosial universal, pendidikan dan kesehatan gratis, perumahan rakyat, serta lingkungan hidup yang berkelanjutan. Inilah politik yang kami perjuangkan politik yang berpihak, politik yang beretika, politik yang berakar.
Kemenangan Zohran di New York menunjukkan bahwa politik semacam ini bisa menang. Dan di Indonesia, Partai Buruh siap membuktikan hal yang sama.
Menuju Pemilu 2029, kami mengajak seluruh rakyat untuk bergabung dalam barisan perubahan: barisan yang menolak politik uang, menolak ketidakadilan, dan menolak penindasan atas nama pembangunan.
Kami mengajak buruh, petani, nelayan, guru, pekerja informal, dan semua yang percaya pada nilai kemanusiaan untuk bersama-sama berkata: sudah cukup rakyat dijadikan objek; kini saatnya rakyat memimpin.
Sebab, sebagaimana Zohran menunjukkan di jantung kapitalisme dunia, politik masih punya harapan, selama ia berpihak pada rakyat pekerja.
“Ketika politik menemui makna, rakyat akan menemukan kekuatannya.” Rivaldi Haryo Seno, Menuju Pemilu 2029.
Oleh
Rivaldi Haryo Seno – Wakil Presiden Partai Buruh



