Jakarta, KPonline – Setiap kali air meluap, rumah hanyut, dan jalan berubah menjadi sungai dadakan, negeri ini seperti mengulang naskah yang sama dimana bencana datang, saling tuding menyusul, lalu semua kembali lupa ketika matahari terbit lagi. Namun kali ini, ketika banjir kembali menggila dan merendam ribuan rumah di wilayah Sumatera, pertanyaan pun menggantung. Siapa sebenarnya yang harus disalahkan?
Apakah cuaca ekstrem? Pemerintah daerah? Pemerintah pusat? Para pengembang rakus? Atau justru kita sendiri yang selama ini pura-pura buta terhadap tanda-tanda alam?
Setiap musim hujan, narasi resmi selalu sama yakni curah hujan tinggi, cuaca ekstrem, fenomena alam. Seolah-olah seluruh kekacauan ini adalah murni ulah langit. Padahal banjir tidak pernah sekadar jatuh dari langit, ia lahir dari kebijakan yang setengah hati dan pembangunan yang serampangan.
Data dari berbagai daerah menunjukkan pola yang tak pernah berubah yaitu daerah resapan hilang, beton merajalela, sungai dipersempit, sampah menumpuk, dan tata ruang amburadul. Yang menyedihkan, semua itu bukan kejadian mendadak. Itu hasil proses panjang yang diketahui semua pihak, tetapi dibiarkan tanpa malu.
Biasanya, setiap bencana datang, pejabat berdiri dengan rompi oranye, memegang HT, memotret lokasi, lalu mengatakan, Kami sudah bekerja optimal.
Tapi warga yang rumahnya tenggelam tentu bertanya. Kalau ini sudah optimal, bagaimana jadinya kalau pemerintah bekerja secara biasa saja?
Tidak sedikit daerah yang sudah dijanjikan normalisasi sungai bertahun-tahun, namun realisasinya hanya sebatas spanduk dan rapat koordinasi. Drainase diperbaiki hanya di pusat kota, sementara wilayah pinggiran dibiarkan seperti kolam raksasa menunggu fungsi alam.
Ironisnya, banyak bencana banjir tidak terlepas dari geliat bisnis properti yang membangun tanpa ampun. Pembalakan liar, resapan turun. Izin keluar, analisis dampak lingkungan setengah matang. Ketika banjir datang, para pelaku menghilang, sementara warga harus memikul akibatnya.
Mari jujur sebentar. Sebagian warga masih membuang sampah sembarangan, menutup selokan dengan beton demi parkir motor, membangun rumah di bantaran sungai, atau pasrah dengan lingkungan yang makin kritis.
Tapi yang harus diingat adalah kesalahan rakyat hanyalah sampiran, bukan inti masalah. Karena sampah memang memperparah banjir tetapi banjir besar tidak lahir dari sampah plastik, melainkan dari tata ruang yang dipreteli.
Alhasil, saat air naik, yang tenggelam bukan hanya rumah, tapi juga kejujuran kita. Banjir tidak pernah sekadar masalah alam. Ia adalah akumulasi dari keputusan politik, kerakusan ekonomi, serta kepasrahan sosial yang dibiarkan bertahun-tahun.
Lalu siapa yang harus disalahkan?
Kita semua punya andil, tapi mereka yang memegang kuasa, izin, anggaran, dan kebijakan. Merekalah yang harus paling bertanggung jawab.
Karena air mengikuti gravitasi, tetapi bencana mengikuti kebijakan.
Sampai keberanian untuk memperbaiki tidak lebih kecil dari keberanian untuk menyalahkan, banjir akan tetap menggila, sementara kita hanya menonton sambil mengeringkan rumah yang tak pernah benar-benar kering.