Medan,KPonline, – Kemiskinan bukanlah sebuah takdir. Ia lahir dari kebijakan yang tidak adil, hukum yang tidak tegak, serta pemerintahan yang korup. Akar dari semua itu adalah kesalahan kolektif rakyat negeri ini yang memberi ruang dan kesempatan kepada para penjahat untuk naik menjadi pejabat.
Ketika jabatan publik diisi oleh mereka yang sejatinya lebih dekat dengan tabiat penjahat daripada jiwa negarawan, maka rakyatlah yang pertama kali merasakan perihnya akibat.
Kekuasaan yang semestinya digunakan untuk melayani kepentingan seluruh rakyat justru berubah menjadi alat untuk mengeruk keuntungan pribadi dan kelompok. Amanah berubah menjadi ancaman, dan jabatan yang seharusnya menjadi tanggung jawab malah menjadi senjata untuk menindas seluruh rakyat.
Bencana banjir bandang yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat adalah bukti nyata yang tak terbantahkan. Bencana alam itu bukan semata fenomena alam, tetapi buah dari kebijakan keliru yang lahir dari tangan para penjahat yang duduk sebagai pejabat. Jutaan meter kubik kayu gelondongan yang terseret banjir dan jutaan hektare hutan yang gundul menjadi saksi bisu tentang rusaknya tata kelola negara oleh mereka yang tak pernah layak memimpin.
Namun ironi terbesar terjadi dalam setiap Pemilu. Dengan wajah ramah, retorika manis, dan janji-janji kesejahteraan, para penjahat ini kembali menipu jutaan rakyat, uang receh dan sembako murahan dijadikan alat untuk menutupi akal licik, niat kotor, dan tangan-tangan yang terbiasa menggerogoti uang negara.
Korupsi, manipulasi, intimidasi, dan penyalahgunaan wewenang menjadi rutinitas harian, sementara rakyat hanya bisa menyaksikan dari jauh, atau bahkan tidak sadar bahwa hak-haknya dirampas sedikit demi sedikit.
Rakyat selalu membayar mahal ketika penjahat menjadi pejabat. Kebijakan dilahirkan bukan untuk kepentingan umum, tetapi demi memperkaya diri dan kroni-kroninya.
Sumber daya negara dikuras habis, pelayanan publik merosot, dan hukum kehilangan martabat, tumpul ke atas, tajam ke bawah, menikam kejam kepada yang lemah.
Rakyat yang menjarah mini market demi sekedar untuk bertahan hidup pada bencana banjir, diancam oleh para penegak hukum akan dipenjarakan, sedangkan mereka para perusak hutan penyebab bencana banjir tetap bebas seolah kebal hukum, fakta ini adalah sebuah bukti bahwa hukum bukan sebagai perisai untuk melindungi rakyat, tetapi menjadi alat bagi mereka yang punya uang dan kekuasaan untuk bertindak sebebasnya.
“Palu hukum mereka yang pegang, bukan hakim dipengadilan”
Pada akhirnya, yang hilang bukan hanya uang negara. Dan yang paling menyakitkan adalah hilangnya harapan rakyat.
Hilangnya kepercayaan terhadap institusi, lenyapnya makna keadilan, bahkan memudarÂnya keyakinan bahwa perubahan tidak akan pernah terjadi. (Anto Bangun)