Ketika Nilai Alfa Menjadi Jebakan Batman Upah Minimum

Ketika Nilai Alfa Menjadi Jebakan Batman Upah Minimum

Purwakarta, KPonline-Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengupahan yang baru saja diteken Presiden Prabowo Subianto kembali membuka luka lama dalam relasi negara dan buruh. Di balik bahasa teknokratis dan rumus matematis yang diklaim objektif, tersimpan persoalan mendmana disini, dimana negara sekali lagi menempatkan upah buruh sebagai variabel penyesuaian, bukan sebagai hak hidup layak.

Formula penetapan upah minimum baru dengan aturan turunannya, PP 49/2025,
nilai kenaikan upah minimum ditentukan oleh inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi, lalu dikalikan dengan satu variabel krusial bernama koefisien alfa. Sekilas terdengar ilmiah dan rasional. Namun, disitulah problem utama bersembunyi. Rentang nilai alfa yang dibuka antara 0,5 hingga 0,9 justru menjelma menjadi jebakan klasik. Ruang kompromi yang terlalu lebar dan hampir selalu berakhir di angka titik terendah.

Pengalaman selama bertahun-tahun pun selalu menunjukkan, fleksibilitas kebijakan pengupahan tidak pernah benar-benar dimanfaatkan untuk memperkuat daya beli buruh. Sebaliknya, ia menjadi dalih permanen untuk menahan kenaikan upah atas nama stabilitas usaha dan iklim investasi. Dalam konteks ini, alfa bukan sekadar angka, melainkan alat politik ekonomi untuk mengerdilkan hak pekerja secara legal.

Serikat pekerja dengan tegas menyatakan bahwa nilai alfa tidak boleh kurang dari 0,9. Alasannya sederhana namun fundamental, yakni pertumbuhan ekonomi bukanlah hadiah langit yang jatuh ke kas negara atau laba korporasi. Ia lahir dari kerja panjang buruh. Mulai dari jam kerja, produktivitas, hingga pengorbanan sosial yang jarang tercatat dalam neraca perusahaan. Ketika pertumbuhan itu hanya dihitung setengah atau dipangkas melalui alfa rendah, maka negara secara sadar memotong kontribusi buruh dengan stempel regulasi.

Lebih jauh, aturan ini masih menempatkan upah sebagai beban biaya produksi, bukan sebagai instrumen keadilan sosial. Inflasi versi negara yang dijadikan acuan sering kali tidak selaras dengan inflasi riil yang dirasakan buruh. Harga pangan (sembako) naik lebih cepat dari upah dan biaya kebutuhan hidup lainnya menuntut pengeluaran tambahan. Dalam kondisi ini, upah minimum kehilangan fungsinya sebagai jaring pengaman hidup layak.

Kemudian, koefisien alfa juga menyimpan problem serius dalam hal transparansi dan partisipasi. Tidak ada penjelasan terbuka mengenai dasar ilmiah, sosial, maupun ekonomi dalam penentuan rentang angka tersebut. Ia ditetapkan sepihak, seolah kehidupan jutaan buruh dapat direduksi menjadi variabel fleksibel yang bisa dinaik-turunkan demi menjaga kenyamanan dunia usaha. Negara seakan mengakui adanya pertumbuhan ekonomi, namun pada saat yang sama menegaskan bahwa buruh tidak berhak menikmatinya secara penuh.

Dan disisi lain, polemik nilai alfa juga menyimpan ironi tersendiri. Tanpa disadari, sebagian Serikat Pekerja dan Serikat Buruh justru ikut terseret ke dalam jebakan Batman nilai alfa. Dimana terlalu fokus memperdebatkan koefisien, sementara isu substansial seperti 84 item Kebutuhan Hidup Layak (KHL), kualitas komponennya, serta rumusan versi serikat pekerja yang telah digodok melalui berbagai FGD justru tersisih dari agenda utama.

Padahal, KHL adalah jantung dari keadilan upah. Tanpa perbaikan serius pada struktur dan kualitas KHL, berapa pun nilai alfa yang diperjuangkan berpotensi tetap gagal menjawab realitas hidup buruh di lapangan.