Purwakarta, KPonline – Fakta pahit terus membayangi bangsa saat ini, dimana jutaan warga negara Indonesia terpaksa menyambung hidup di luar negeri karena negara gagal menciptakan lapangan kerja layak dan upah yang manusiawi. Fenomena ini bukan sekadar statistik. Tetapi ini cermin kegagalan struktural yang membuat generasi produktif harus mencari nafkah jauh dari kampung halaman.
Data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mengungkap bahwa pada 2024, jumlah pekerja migran yang ditempatkan mencapai sekitar 296.970 orang, dengan sebagian besar memilih tujuan seperti Singapura, Hong Kong, Taiwan, dan Malaysia. Fenomena ini pun menjadi simbol jelasnya arus keluar tenaga kerja dari tanah air.
Bahkan, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa secara blak-blakan menyatakan fenomena ini sebagai kegagalan negara dalam menciptakan lapangan kerja di dalam negeri. Menurutnya, perlambatan ekonomi dan kurangnya kesempatan kerja telah memaksa pekerja Indonesia mencari peluang di luar negeri demi kehidupan yang layak.
Sementara itu, Financial Times juga menyoroti deindustrialisasi sebagai salah satu akar masalah. Sektor manufaktur yang dulu menopang kelas menengah kini menyusut drastis, sementara investasi fokus pada ekstraksi sumber daya yang tidak menciptakan lapangan kerja berkualitas.
Tagar #KaburAjaDulu pun sempat menjadi simbol protes generasi muda terhadap kebijakan ketenagakerjaan yang stagnan. Warga dari Jawa Tengah saja, misalnya, lebih dari 66.000 orang bekerja di luar negeri. Bukti bahwa eksodus tenaga kerja bukanlah sebuah insiden, melainkan tren struktural.
Fenomena ini bukan sekedar soal pencarian peluang. Ketidakadilan struktural memainkan peran besar. Mulai dari kesenjangan upah, minimnya lapangan kerja formal, dan kurangnya perlindungan buruh membuat pekerja Indonesia berada di posisi paling rentan.
Di sisi lain, LBH Semarang menegaskan bahwa upah rendah dan minimnya lapangan kerja formal menjadi penyebab utama pengiriman warga Jawa Tengah ke luar negeri. Padahal, menurut informasi yang berkembang bahwa katanya banyak perusahaan hengkang dari Jawa Barat, DKI dan Tangerang ke Jawa Tengah. Pertanyaannya, kenapa warga Jawa Tengah lebih memilih ke luar negeri untuk bekerja mencari nafkah?
Meskipun bekerja di luar negeri sering digadang sebagai solusi, realitasnya tidak selalu seindah janji. Banyak pekerja migran Indonesia yang bekerja pada sektor informal, seperti domestik, perawatan, dan jasa, dengan tekanan kerja tinggi dan perlindungan minim.
Dalam konteks global, ILO mencatat bahwa tren pekerja migran terus meningkat. Lebih dari 4,7 persen dari total angkatan kerja global kini adalah migran, namun alasan utamanya tetap sama yaitu upah lebih tinggi di luar negeri dan peluang kerja yang lebih luas dibandingkan kondisi domestik.
Riset juga menunjukkan bahwa upah yang ditawarkan pekerja Indonesia di luar negeri jauh lebih tinggi. Di Taiwan bisa mencapai Rp 9 hingga 12 juta, sementara di Korea Selatan bahkan bisa sampai Rp 15 hingga 30 juta per bulan, angka yang jauh melampaui banyak upah formal di Indonesia.
Kemudian, tak hanya soal eksodus massal, banyak pekerja migran juga mengalami penindasan struktural. Menteri P2MI Abdul Kadir Karding menyebut bahwa program magang di luar negeri terkadang menjadi modus eksploitasi tenaga kerja murah, dengan upah jauh di bawah standar seharusnya.
Kasus lebih ekstrem terlihat pada pekerja perikanan Indonesia yang bekerja di kapal luar negeri. Investigasi media internasional mengungkap kondisi kerja kejam, termasuk penahanan paspor, kekerasan, hingga utang tertahan yang menjebak pekerja dalam situasi mirip perbudakan modern.
Alih-alih memperbaiki sistem ketenagakerjaan domestik, pemerintah justru mengandalkan diplomasi penempatan PMI sebagai solusi. Dengan target penempatan mencapai 400 ribu hingga 800 ribu pekerja migran, upaya pemerintah lebih banyak berfokus pada ekspor tenaga kerja daripada menyelesaikan akar permasalahan.
Namun, ini memperlihatkan paradoks tragis, dimana kebijakan pengiriman tenaga kerja yang semestinya berupa sumber devisa justru menjadi tanda kegagalan memanfaatkan potensi sumber daya manusia di tanah air.
Singkatnya, eksodus tenaga kerja Indonesia bukan pilihan. Ini adalah bukti nyata kegagalan sistem ketenagakerjaan nasional dalam menciptakan lapangan kerja layak, memberikan upah yang adil, serta melindungi pekerja.
Generasi produktif Indonesia kini menghadapi pilihan pahit. Bertahan di negeri dengan prospek karier terbatas atau menyambung hidup di luar negeri dengan risiko besar dan jauh dari keluarga.
Jika pemerintah terus mengedepankan eksport tenaga kerja sembari mengabaikan perbaikan struktural domestik, maka fenomena kabur ke luar negeri akan terus menjadi cermin paling tajam tentang kegagalan Indonesia membangun kesejahteraan kerja nyata dan bukan sekadar retorika.