Ketika Meja Perundingan Miring ke Arah Pengusaha: Dominasi Modal dalam Penentuan Upah Minimum

Ketika Meja Perundingan Miring ke Arah Pengusaha: Dominasi Modal dalam Penentuan Upah Minimum

Jakarta, KPonline – Kenaikan upah minimum yang setiap tahun menjadi harapan jutaan buruh kembali memasuki babak penentuan. Namun, di balik angka-angka yang digodok pemerintah, terselip realitas getir, dimana arah kebijakan upah minimum seperti yang telah berlalu, lebih banyak dikendalikan oleh kekuatan modal dibandingkan keberpihakan pada kesejahteraan pekerja.

Bahkan sebelumnya, sejak disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja oleh Jokowi, formula penetapan upah minimum mengalami perubahan signifikan. Mekanisme yang dulu mengandalkan hasil survei kebutuhan hidup layak (KHL), digantikan oleh formula matematis berbasis inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Rumus itu disebut pemerintah sebagai bentuk rasionalitas dan kepastian hukum. Namun bagi buruh, kebijakan itu justru menjadi alat baru yang mematikan daya tawar mereka di hadapan pengusaha.

Sehingga menyimak dari yang sudah-sudah, upah minimum sekarang bukan lagi hasil perundingan antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja. Ia telah menjadi keputusan sepihak yang dibungkus dengan istilah ‘formula ekonomi”.

Pengusaha, melalui asosiasinya seperti: Apindo dan Kadin, memiliki posisi strategis dalam memberi masukan kepada pemerintah. Mereka aktif memanfaatkan ruang konsultasi teknis, analisis makroekonomi, hingga lobi-lobi informal. Sementara itu, serikat pekerja sering kali hanya dilibatkan pada tahap akhir tanpa akses penuh terhadap data dan kajian pemerintah.

Kemudian, begitu angka pertumbuhan ekonomi diumumkan, sudah bisa ditebak: pengusaha akan mengajukan kenaikan minimal, bahkan sering di bawah proyeksi inflasi. Dan pemerintah lebih sering mengikuti arah itu.

Kementerian Ketenagakerjaan berulang kali menegaskan bahwa pemerintah berperan sebagai penengah. Namun dalam berbagai kebijakan, posisi itu tampak condong ke sisi pengusaha. Misalnya, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan, pemerintah kembali memperkuat peran formula ekonomi dan menghapus ruang negosiasi berbasis KHL.

Dimana, untuk selanjutnya mereka selalu mengeluarkan alasan klasik dengan mengatakan bahwa kami harus menjaga iklim investasi tetap kompetitif. Jika upah naik terlalu tinggi, perusahaan bisa hengkang dan pengangguran meningkat.

Alasan menjaga daya saing ini sering menjadi senjata retorik yang menekan tuntutan buruh. Akibatnya, upah minimum di banyak daerah hanya naik tipis, jauh dari ekspektasi buruh yang berharap kenaikan selalu berada dikisaran 8–10 persen sesuai dengan lonjakan harga kebutuhan pokok dan biaya hidup.

Selain itu, Pengusaha sering menjustifikasi rendahnya kenaikan upah dengan dalih produktivitas buruh Indonesia masih rendah dibandingkan negara tetangga seperti Vietnam dan Thailand. Namun argumen itu kerap mengabaikan fakta bahwa peningkatan produktivitas memerlukan investasi dalam pelatihan, teknologi, dan kondisi kerja yang layak, hal yang justru sering diabaikan pengusaha sendiri.

Dalam laporan tahunan Bank Dunia tahun 2024, disebutkan bahwa upah riil buruh Indonesia stagnan selama lima tahun terakhir, bahkan mengalami penurunan bila disesuaikan dengan inflasi. Artinya, daya beli buruh justru menurun di tengah klaim pertumbuhan ekonomi yang positif.

Intinya, Keadilan dalam kebijakan upah bukan hanya soal angka, melainkan soal martabat. Upah minimum seharusnya menjadi jaring pengaman sosial yang menjamin setiap pekerja hidup layak, bukan sekadar angka kompromi antara modal dan birokrasi.

Namun selama kebijakan disandera oleh logika investasi semata, suara buruh terkait hal upah akan terus kalah di meja perundingan. Dan setiap akhir tahun, ketika para pekerja menanti pengumuman gubernur, mereka akan kembali bertanya: Untuk siapa sebenarnya upah minimum itu ditetapkan?