Ketika Kekuasaan dan Uang Sudah Berbicara, yang Haram Bisa Jadi Halal

Ketika Kekuasaan dan Uang Sudah Berbicara, yang Haram Bisa Jadi Halal

Medan,KPonline, – Dalam dunia yang seharusnya diatur oleh nilai moral, etika, hukum, dan kebenaran, rakyat hari ini disuguhi dengan realitas pahit yang terus berulang “ketika kekuasaan dan uang sudah berbicara, yang haram bisa menjadi halal, yang salah bisa tampak benar, dan keadilan kehilangan maknanya”

Kekuasaan memberi kewenangan, uang memberikan pengaruh, saat keduanya bersatu padu maka lahirlah sebuah ilusi kebenaran yang menyesatkan.

Sesuatu yang jelas-jelas terlihat salah, baik secara hukum, etika, maupun agama, dapat tiba-tiba berubah menjadi kebenaran dan diterima oleh masyarakat.Semuanya terjadi hanya karena pelakunya memiliki jabatan tinggi dan kekayaan melimpah.

Korupsi yang membudaya, perampasan hak rakyat, eksploitasi buruh, rekayasa dan manipulasi hukum, hingga kebijakan yang merugikan rakyat, semuanya dapat disulap menjadi “program strategis”, “proyek pembangunan”, atau “bentuk investasi.” yang mengatas namakan demi kepentingan bangsa dan negara,

Inilah wajah kemunafikan sosial yang dibungkus rapi dengan legitimasi kekuasaan.

Uang mampu membeli suara, opini, bahkan martabat,

kekuasaan mampu mengatur narasi, menekan kritik, dan memutarbalikkan fakta.

Dalam sistem seperti ini, kebenaran kehilangan suara, hukum menjadi alat, bukan tujuan; moral hanya menjadi jargon, bukan pedoman.

Polemik seputar ijazah Presiden Joko Widodo mantan Presiden ke 7 dan Gibran Raka buming Raka Wakil Presiden yang terus dipersoalkan adalah contoh nyata bagaimana publik mulai mempertanyakan integritas di tengah dominasi kekuasaan.

Jika kelak terbukti bahwa tuduhan pemalsuan itu benar, maka hal tersebut menjadi bukti nyata bahwa kekuasaan dan uang mampu membungkam kebenaran.

Demikian pula lahirnya sejumlah anggota parlemen yang tidak memiliki kompetensi, tanpa moral, dan tanpa sikap negarawan, bahkan ada yang berstatus tersangka dalam kasus dugaan pembunuhan adalah buah dari politik uang.

Bukan menjadi rahasia umum dalam setiap pesta demokrasi lima tahunan, uang menjadi tiket menuju kekuasaan.

Seandainya seekor monyet bisa mencalonkan diri dan memiliki cukup uang untuk membeli suara, besar kemungkinan ia akan terpilih.

Sebab masyarakat hari ini tidak lagi memilih berdasarkan nilai, tetapi berdasarkan siapa yang paling berani membayar mahal untuk satu suara.

Lalu muncul pertanyaan mendasar:

Mengapa masyarakat lebih memilih uang ketimbang integritas?

Jawabannya sederhana, mereka sudah terlalu lama merasa lelah, dibodohi dibohongi dan dikhianati.

Skeptisisme tumbuh dari kekecewaan yang mendalam.

Namun, harapan akan lahirnya sebuah perubahan belum padam, masyarakat masih menanti perubahan sejati, meski harus melalui revolusi yang berdarah.

Sejarah selalu membuktikan:

Kebenaran tidak bisa selamanya dibungkam.

Setiap kebohongan, sebesar apa pun perlindungannya, suatu hari akan runtuh.

Setiap ketidakadilan, cepat atau lambat, akan menuntut balas.

Perubahan sejati hanya akan lahir dari kewarasan dan keberanian masyarakat, untuk

berani menyatakan bahwa yang salah tetap salah,

berani menolak tunduk pada gemerlap kekuasaan dan

berani menolak pesona uang yang menyesatkan.Sebab jika masyarakat ikut membenarkan kesalahan hanya karena pelakunya kuat dan kaya, maka masyarakat itu sendiri menjadi bagian dari kerusakan.

Dan jika pada akhirnya perubahan itu harus datang melalui sebuah revolusi dengan menelan banyak korban, mungkin itulah harga yang harus dibayar untuk kebenaran menemukan jalannya. (Anto Bangun)