Ketika Hati Nurani Mengkhianati

Ketika Hati Nurani Mengkhianati

Jakarta, KPonline-Mereka yang dulu bersumpah menjunjung keadilan sosial, kini tampak nyaman duduk di kursi empuk sambil menandatangani kebijakan yang mengiris masa depan kaum pekerja. Seolah kesejahteraan hanyalah catatan pinggir dalam laporan ekonomi. Dan disitulah hati nurani para pembuat kebijakan makin hari makin terasa hilang.

Narasi tentang hidup layak buruh di Indonesia bukan dongeng baru. Laporan-laporan akademis, hingga suara serikat pekerja sejak lama sudah membeberkan bahwa upah minimum sering tak menutupi kebutuhan dasar, apalagi untuk hidup bermartabat. Namun, entah mengapa, fakta ini tak pernah berhasil mengetuk pintu nurani mereka yang memegang pena penentu nasib.

Berulang kali serikat pekerja menegaskan bahwa kenaikan upah tahunan harus mempertimbangkan faktor inflasi, indeks harga konsumen, dan standar hidup layak. Bahkan Mahkamah Konstitusi pun telah menegur pemerintah dalam sejumlah putusan terkait tata kelola ketenagakerjaan, namun petunjuk itu seakan hanya menjadi arsip formal tanpa nyawa.

Di ruang rapat para pemegang regulasi, hidup para buruh sering dipadatkan menjadi angka, tabel, dan proyeksi pertumbuhan. Mereka lupa bahwa di balik angka itu ada anak buruh yang butuh ongkos sekolah, ada istri yang menunggu belanja dapur. Tetapi tetap saja, keputusan-keputusan penting selalu jatuh pada logika efisiensi perusahaan, bukan keberpihakan kepada manusia yang bekerja.

Data lembaga riset ketenagakerjaan selama beberapa tahun terakhir menunjukkan hal ironis. Produktivitas tenaga kerja Indonesia meningkat, tetapi laju kenaikan upah riil stagnan. Dengan kata lain, pekerja menghasilkan lebih banyak, tetapi menerima lebih sedikit dalam nilai nyata.

Para pekerja sering bertanya. Dimana keadilan?
Namun, pertanyaan itu lebih sering menguap di udara pabrik ketimbang sampai ke ruang pembuat kebijakan.

Dari cerita-cerita valid yang dihimpun serikat pekerja, banyak buruh mengaku bahwa aksi turun ke jalan bukan lagi pilihan, melainkan satu-satunya cara mempertahankan martabat. Ketika dialog buntu, ketika pemerintah menutup telinga, ketika pengusaha berlindung di balik dalih daya saing, maka jalanan menjadi ruang demokrasi terakhir yang masih tersisa.

Satu, perlu digaris bawahi. Sebuah bangsa tidak diukur hanya dari pertumbuhan ekonomi atau nilai investasi, tetapi dari seberapa layak para pekerja sebagai tulang punggung pembangunan hidup di negeri sendiri. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai para pekerjanya.

Namun selama pembuat kebijakan tak lagi menempatkan kesejahteraan pekerja sebagai prioritas, selama suara buruh hanya dianggap gangguan dalam pusaran investasi, maka narasi ini akan terus berulang menjadi tragedi. Kemiskinan yang diwariskan, dan ketidakadilan yang dilembagakan.

Meski begitu, cerita yang valid dari lapangan memperlihatkan bahwa harapan belum benar-benar padam. Serikat pekerja terus membangun konsolidasi, akademisi terus mengeluarkan kajian kritis, dan publik mulai lebih berani mempertanyakan arah kebijakan yang kini tidak berperikemanusiaan lagi.

Karena pada akhirnya, perubahan tak datang dari mereka yang nyaman di kursi kekuasaan, tetapi dari mereka yang setiap hari bertarung untuk sekadar hidup layak.