Purwakarta, KPonline – Di balik pengumuman merger dua perusahaan besar, ada kisah lain yang jarang menjadi headline, dimana kekhawatiran di wajah ribuan pekerja yang tiba-tiba merasa masa depan mereka menggantung di udara.
Merger yang dalam teori bisnis dianggap sebagai langkah strategis memperkuat daya saing dan efisiensi perusahaan sering kali membawa makna yang berbeda bagi mereka yang berada di lini produksi. Di balik istilah manajerial seperti “restrukturisasi”, “efisiensi biaya”, atau “penyesuaian organisasi”, terselip ancaman nyata berupa pemutusan hubungan kerja (PHK), pengurangan tunjangan, hingga hilangnya identitas perusahaan tempat mereka mengabdi bertahun-tahun.
“Biasanya, para pekerja senang mendengar kabar merger. Karena mereka berpikir perusahaan jadi lebih besar, lebih kuat. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Banyak teman-teman dirumahkan, terutama bagian administrasi dan logistik,” ujar Darmo (42), operator forklift di salah satu perusahaan manufaktur komponen otomotif di Karawang yang baru saja melewati proses merger.
Menurutnya, perubahan struktur manajemen dan sistem kerja pasca merger membuat para pekerja di tingkat bawah merasa “tidak aman”. Sejumlah posisi dianggap tumpang tindih, dan karyawan lama harus bersaing dengan karyawan dari perusahaan lain yang menjadi bagian dari penggabungan itu.
Fenomena seperti yang dialami Darmo bukan kasus tunggal. Dalam beberapa tahun terakhir, gelombang merger dan akuisisi (M&A) meningkat tajam di berbagai sektor. Mulai dari sektor perbankan, telekomunikasi, energi, hingga manufaktur. Motif utamanya pun beragam. Mulai dari menekan biaya operasional, memperluas pasar, hingga memperkuat posisi di tengah tekanan global. Namun, dampak sosial terhadap pekerja jarang menjadi pertimbangan utama.
Bagi kalangan manajer, merger adalah strategi bisnis. Namun bagi buruh dan karyawan, merger sering kali identik dengan “efisiensi” kata halus untuk pengurangan tenaga kerja.
Selanjutnya, Merger sering disertai dengan penggabungan fungsi kerja. Kalau sebelumnya dua perusahaan punya dua departemen HRD, setelah merger cukup satu. Artinya, separuhnya tidak lagi dibutuhkan.
Langkah itu memang meningkatkan efisiensi jangka pendek, tapi bisa menurunkan moral karyawan dan mengikis loyalitas pekerja. “Ketika pekerja melihat koleganya dipecat setelah merger, muncul rasa takut. Produktivitas bisa turun karena mereka lebih sibuk memikirkan nasib daripada fokus bekerja”.
Tak hanya kehilangan pekerjaan, tekanan psikologis pasca merger juga menjadi fenomena yang meluas. Dimana, sistem kerja yang berubah total. Dengan, target yang dinaikkan, sehingga bisa menyebabkan banyak pekerja yang tidak kuat lalu resign.
Selain itu, perubahan drastis dalam struktur kerja dapat memicu burnout massal. “Rasa kehilangan identitas perusahaan, adaptasi budaya kerja baru, dan ketidakpastian posisi adalah pemicu stres tertinggi dalam proses merger”
Kemudian, tantangan lain yang muncul adalah benturan budaya kerja antar perusahaan. Misalnya, perusahaan lokal yang berorientasi kekeluargaan bergabung dengan perusahaan multinasional yang menuntut disiplin dan target tinggi.
Benturan budaya ini, jika tidak dikelola dengan baik, bisa menurunkan kinerja organisasi. Penelitian Harvard Business Review (2022) menyebut bahwa 60 persen merger gagal mencapai target keuntungan karena kegagalan menyatukan budaya kerja dan nilai antar perusahaan.
Meskipun banyak kisah getir, sebagian pekerja masih berharap merger bisa membawa angin segar. “Setidaknya, jika manajemen terbuka dan komunikasi baik, merger bisa jadi peluang. Misalnya, ada pelatihan baru, promosi lintas perusahaan, atau kenaikan gaji”
Singkatnya, keterlibatan pekerja sejak tahap perencanaan merger memang menjadi kunci penting. Di beberapa negara maju seperti Jerman dan Swedia, hukum mewajibkan perusahaan untuk berkonsultasi dengan perwakilan pekerja sebelum mengambil keputusan merger. Hal ini dianggap mampu menekan konflik dan menjaga stabilitas hubungan industrial.
Sebelumnya, di Indonesia, perlindungan pekerja dalam konteks merger masih diatur secara umum dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, serta beberapa peraturan turunan dalam UU Cipta Kerja. Namun, tidak ada pasal yang secara tegas menjamin posisi dan hak pekerja pasca merger.
Akhirnya, celah ini sering dimanfaatkan perusahaan untuk melakukan perombakan total. Secara hukum mereka tidak salah, tapi secara moral itu menyalahi prinsip keadilan sosial. Untuk itu, perlu ada amandemen yang menegaskan bahwa merger tidak menghapus hubungan kerja, kecuali atas kesepakatan bersama yang menguntungkan pekerja. “Jangan sampai merger dijadikan jalan pintas untuk menghapus tanggung jawab perusahaan lama”
Ketika dua perusahaan bergabung, yang digabungkan seharusnya bukan hanya aset, saham, atau sistem manajemen. Lebih dari itu, merger seharusnya menyatukan komitmen terhadap manusia yang membuat roda perusahaan tetap berputar, yaitu para pekerja.
Merger bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan babak baru yang menuntut keadilan sosial dalam dunia kerja. Agar tidak hanya saham yang naik, tapi juga kesejahteraan mereka yang selama ini menopang keberhasilan perusahaan.