Jakarta, KPonline-Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Pengadilan Negeri Bandung memutuskan bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap dua buruh PT Yamaha Music Manufacturing Asia (YMMA) dinyatakan batal demi hukum. Putusan ini tercatat dalam perkara Nomor 103/Pdt.Sus-PHI/2025/PN Bdg yang dibacakan pada Rabu, 3 September 2025.
Majelis hakim yang dipimpin A. A. Gede Susila Putra, S.H., M.Hum. dengan hakim anggota Sugeng Prayitno, S.H., M.H. dan Dr. Suratno, S.Sos., S.H., M.H. menyatakan bahwa:
•PHK terhadap Slamet Bambang Waluyo dan Wiwin Zaini Miftah tidak sah dan batal demi hukum.
•Hubungan kerja keduanya belum pernah terputus.
•PT YMMA diwajibkan mempekerjakan kembali kedua buruh pada posisi semula paling lambat 14 hari setelah putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht).
•PT YMMA diwajibkan membayarkan upah yang belum dibayar sejak Maret 2025 sampai September 2025 dengan total Rp170.545.508.
•Jika lalai melaksanakan, perusahaan dikenakan uang paksa (dwangsom) sebesar Rp1.160.172 per hari.
•Hakim juga membebankan biaya perkara sebesar Rp11.000 kepada PT YMMA.
Putusan tersebut menegaskan bahwa langkah PHK yang dilakukan perusahaan bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Setelah kalah di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Bandung, manajemen Yamaha Music Manufacturing Asia (YMMA) mengambil langkah lanjutan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Namun, menurut informasi yang beredar menyebutkan bahwa alasan disharmonis, istilah sumir yang bahkan tidak diakui sebagai dasar PHK dalam hukum ketenagakerjaan Indonesia akan dijadikan amunisi utama dalam upaya pembatalan putusan PHI yang memenangkan Ketua dan Sekretaris PUK SPEE FSPMI YMMA.
Jika kabar ini terbukti benar, berarti ini bukan sekadar perselisihan hubungan industrial. Ini upaya membuka pintu baru untuk menyingkirkan pengurus serikat pekerja.
Dan bila pintu itu terbuka, ia bukan hanya memengaruhi dua orang pekerja Yamaha tetapi seluruh gerakan buruh di Indonesia.
Menurut Presiden KSPI, Said Iqbal, ada tujuh penyebab PHK yang layak diwaspadai.
Penyebab pertama, perusahaan menutup usahanya di Indonesia.
Peyebab kedua umumnya karena rasionalisasi atau restrukturisasi perusahaan. Perusahaan tidak menutup bisnisnya. Langkah yang ditempuh adalah restrukturisasi atau melakukan merger dengan perusahaan lain. Perusahaan yang melakukan rasionalisasi atau restrukturisasi cenderung mengurangi karyawan terutama pada bagian-bagian yang tidak produktif.
Pengunduran diri pekerja menjadi sebab ketiga PHK. Dalam konteks ini, pekerja secara sukarela memutuskan hubungan dengan perusahaan. Dalam beberapa putusan pengadilan, pekerja yang tidak masuk beberapa hari berturut-turut tanpa alasan yang jelas bisa dikategorikan mengundurkan diri.
Keempat, PHK atas penetapan atau putusan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Misalnya, perusahaan tidak mau mempekerjakan lagi pekerja/buruh, mengacu UU Ketenagakerjaan. PHK model ini lebih disebabkan oleh putusan hakim yang mengabulkan keinginan pengusaha.
Kelima, PHK karena pekerja/buruh masuk usia pensiun. Saat ini usia pensiun ditetapkan 56 tahun.
Keenam, PHK akibat kontrak kerja berakhir. Biasanya dialami pekerja yang berstatus kontrak atau outsourcing. PHK karena kontrak kerjanya habis sangat dipengaruhi oleh kapasitas produksi perusahaan, ketika permintaan pasar tinggi maka perusahaan akan menggenjot produksinya. Sehingga membutuhkan pekerja tambahan, tapi ketika permintaan pasar rendah maka produksi turun dan dampaknya menyasar pada kontrak kerja si pekerja apakah diperpanjang atau tidak.
Jika PHK tak bisa dihindari, maka para pihak punya hak dan kewajiban. Said mengimbau agar pekerja memperjuangkan hak-haknya seperti pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak seperti yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Besaran yang dituntut minimal sejalan dengan amanat undang-undang. Bahkan dimungkinkan lebih sesuai hasil perundingan buruh-pengusaha. Dan, jangan lupa manfaat jaminan-jaminan sosial seperti Jaminan Hari Tua (JHT). “Serta berhak mendapat Jaminan Kesehatan yang diselenggarakan BPJS Kesehatan selama enam bulan setelah PHK,” kata Iqbal
Dan disharmonis?
Tidak ada.
Tidak disebutkan.
Tidak diakui.
Disharmonis hanyalah istilah elastis yang tidak memiliki parameter hukum, dan karena itu selama ini tidak sah dijadikan alasan untuk memutus hubungan kerja.
Karena itu, jika MA mempertimbangkan alasan yang tidak diatur undang-undang ini, preseden hukumnya dapat mengguncang fondasi perlindungan pekerja.
Kemudian, jika MA menerima argumentasi disharmonis, maka:
1. Pengusaha akan memiliki pintu darurat untuk menyingkirkan pengurus serikat pekerja
Cukup dengan mengklaim hubungan kerja sudah tidak harmonis, tanpa bukti pelanggaran, tanpa proses yang sah.
2. Serikat pekerja kehilangan perlindungan mendasar
UU menjamin bahwa pengurus serikat tidak boleh diperlakukan diskriminatif, apalagi di-PHK tanpa dasar hukum.
3. PHI dan MA akan dibanjiri dalih serupa
Dalam sejumlah putusan di masa lalu, alasan ini pernah disinggung di persidangan, tetapi selalu dikritik karena:
•Tidak memiliki dasar undang-undang,
•Rentan disalahgunakan,
•Melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia,
•Menciptakan ketidakpastian hukum.
Akan tetapi kali ini berbeda, dimana disharmonis berpotensi dilegalkan melalui putusan puncak peradilan Indonesia.
Peraturan ketenagakerjaan jelas mewajibkan prosedur dan alasan PHK yang sah.
PHK tanpa alasan hukum yang valid berarti:
•Batal demi hukum,
•Pekerja wajib dipekerjakan kembali,
•Pengusaha dapat diwajibkan membayar upah proses,
•dan putusan pengadilan menjadi rujukan nasional.
Ini sebabnya kasus Yamaha menjadi sangat penting. Jika MA tidak berhati-hati, putusan ini akan menjadi rujukan bagi ribuan perusahaan lain untuk menyingkirkan siapa saja yang dianggap mengganggu.
Dan siapa yang paling sering dianggap mengganggu? Pengurus serikat pekerja.
Mengapa Kasus Yamaha Menjadi Sorotan?
1. Menyangkut PUK Serikat Pekerja
Ketua dan Sekretaris PUK adalah posisi paling strategis dalam memperjuangkan hak buruh di tingkat perusahaan.
Upaya PHK terhadap mereka, apalagi dengan alasan yang tidak sah selalu tercium aroma union busting.
2. PHI Bandung sudah memutuskan mereka menang
Artinya, bukti di persidangan sudah menunjukkan:
•PHK tidak sah,
•prosedur tidak benar,
•dan pekerja harus dipulihkan haknya.
Kasasi Yamaha dianggap sebagai upaya memutar ulang proses dengan mengganti alasan PHK.
3. MA berada dalam posisi krusial
Dalam banyak kasus hubungan industrial, putusan MA menjadi yurisprudensi dan diikuti hakim lain di seluruh Indonesia.
Karena itu, atas hal yang dialami oleh anggotanya tersebut, FSPMI menegaskan bahwa mereka bukan hanya mengawal kasus ini untuk kepentingan internal, tetapi untuk seluruh pekerja Indonesia.
“Jika alasan disharmonis dilegalkan, maka tidak ada satupun pengurus serikat pekerja di Indonesia yang benar-benar aman”
Kasus ini akan menentukan apakah serikat pekerja tetap menjadi garda depan pekerja, atau serikat pekerja perlahan dipreteli lewat alasan pseudo-hukum yang dicari-cari.
Dunia kerja tidak boleh diatur oleh istilah abstrak seperti disharmonis. Hukum ketenagakerjaan tidak boleh tunduk pada narasi psikis yang sulit dibuktikan.
Putusan perburuhan tidak boleh menjadi alat pembenaran untuk melemahkan gerakan buruh.
Kasus Yamaha ini adalah ujian.
Apakah MA akan tetap berpegang pada undang-undang, atau membuka pintu bagi preseden berbahaya?
PHK berbasis disharmonis bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga membuka ruang bagi kriminalisasi hubungan industrial, mengancam demokrasi di tempat kerja, dan melemahkan struktur perlindungan pekerja.
Jika alasan ini diterima, maka semua buruh bisa sewaktu-waktu dianggap mengganggu. Semua pengurus serikat bisa dinyatakan tidak cocok. Semua perjuangan buruh berada dalam ancaman nyata.