Kepesertaan PBI Dinonaktifkan, Masyarakat Terdampak Makin Sulit Akses Layanan Publik

Kepesertaan PBI Dinonaktifkan, Masyarakat Terdampak Makin Sulit Akses Layanan Publik

Jakarta, KPonline – Direktur Eksekutif Jamkeswatch KSPI, Daryus menyoroti kebijakan penonaktifan kepesertaan Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Kementerian Sosial Nomor 455 tanggal 3 Juni 2025, mendapat sorotan dan kritik keras dari berbagai elemen masyarakat. Ia menilai kebijakan ini merugikan masyarakat terutama golongan yang selama ini menjadi penerima manfaat dan justru semakin memperberat akses mereka terhadap layanan publik dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan.

Surat Edaran Kemensos yang memuat kebijakan pemutakhiran Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) menggunakan sistem desil yang membagi rumah tangga ke dalam 10 kelompok berdasarkan tingkat kesejahteraan menyebabkan penonaktifan secara massal terhadap penerima PBI yang dianggap sudah tidak memenuhi kriteria manfaat. Namun, penerapan sistem ini dirasakan tidak adil oleh banyak warga, khususnya mereka yang masuk dalam desil menengah dan bawah yang sebenarnya masih mengalami kesulitan ekonomi.

Dampak langsung dari kebijakan tersebut sangat dirasakan oleh masyarakat bawah. Banyak warga melaporkan kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan karena status kepesertaan BPJS PBI mereka tiba-tiba dinonaktifkan. Bahkan, beberapa keluarga mengalami kendala pendaftaran anak ke sekolah tahun ajaran baru karena sejumlah wilayah mewajibkan status BPJS aktif sebagai syarat administrasi.

Tidak hanya itu, masyarakat juga mengalami kesulitan dalam mengurus Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), dokumen penting yang dibutuhkan untuk melamar pekerjaan. “Kami sebagai rakyat kecil semakin bingung. Mau berobat sulit, anak mau sekolah tidak bisa, kerja juga terganjal SKCK. BPJS kami tiba-tiba dinonaktifkan tanpa pemberitahuan,” ungkap salah satu warga yang terdampak.

Direktur Eksekutif Jamkeswatch KSPI, Daryus menyatakan, “Kebijakan ini sangat merugikan masyarakat miskin yang menjadi tulang punggung bangsa. Penonaktifan sepihak tanpa sosialisasi yang memadai dan tanpa mekanisme yang mudah untuk mengajukan keberatan, membuat rakyat kecil semakin terpuruk.”

Ia menambahkan, bahwa sistem desil yang digunakan belum cukup representatif untuk menggambarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat secara riil. Banyak keluarga yang menurut data resmi dianggap sudah tidak miskin, namun kenyataannya masih berada dalam kondisi rentan dan memerlukan bantuan sosial, termasuk akses layanan kesehatan gratis. (Dikutip dari Milenial Time)