Jakarta,KPonline – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Partai Buruh menyatakan penolakan keras terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pengupahan yang sedang disiapkan pemerintah sebagai dasar penetapan upah minimum tahun 2026. RPP tersebut dinilai akan membuat buruh Indonesia kembali masuk dalam era upah murah, bahkan membuka kemungkinan kenaikan upah 0 persen untuk wilayah industri.
Presiden KSPI sekaligus Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, menegaskan bahwa RPP Pengupahan cacat proses dan substansi. Serikat pekerja tidak pernah dilibatkan dalam proses perundingan secara formal dan mendalam. Yang terjadi selama ini hanya sosialisasi sepihak, bukan dialog tripartit sebagaimana mestinya.
Menurut Iqbal, penggunaan kembali formula konsumsi rata-rata pekerja dan penerapan formula alpha 0,3–0,8 menjadi akar persoalan. Dengan konsep tersebut, daerah industri besar seperti Bekasi, Karawang, Tangerang Raya, Gresik, Surabaya, Batam, dan lainnya berpotensi tidak mengalami kenaikan upah sama sekali di tahun 2026. Sementara itu, jika pemerintah tetap memaksakan alpha 0,3, kenaikan upah nasional hanya sekitar 4,3 persen, atau sekitar Rp120.000 per bulan.
“Ini kebijakan yang mengunci buruh dalam upah murah selama 10 hingga 20 tahun ke depan. Kenaikannya bahkan tidak sampai harga satu kebab sekali makan di Jenewa,” kata Iqbal.
KSPI dan Partai Buruh mengusulkan alternatif kebijakan, yaitu kenaikan upah minimum 6,5 persen (berdasarkan kebijakan tahun sebelumnya), atau rentang 6–7 persen sebagai kompromi. Jika formula alpha tetap digunakan, maka nilai alpha yang layak berada pada rentang 0,7–0,9.
Menanggapi narasi pemerintah dan pengusaha bahwa kenaikan upah minimum memicu PHK, Iqbal menegaskan bahwa argumen tersebut tidak berdasar.
“PHK terjadi karena daya beli jatuh dan impor murah membanjiri pasar, bukan karena kenaikan upah,” tegasnya.
Bila pemerintah tetap memaksakan penetapan upah minimum berdasarkan RPP tersebut dan menetapkan kenaikan 4,3 persen atau bahkan 0 persen, KSPI, Partai Buruh, dan 72 organisasi buruh dalam Koalisi Serikat Pekerja menyatakan siap melakukan aksi nasional besar. Aksi akan dimulai pada 7 Desember 2025, berlanjut setelah pengumuman pada 8 Desember 2025.
“Jika perlu, lima juta buruh akan berhenti produksi. Mogok nasional akan menjadi pilihan,” tutup Iqbal.



