Kemerdekaan: Bendera Berkibar, Perut Masih Keroncongan

Kemerdekaan: Bendera Berkibar, Perut Masih Keroncongan

Salah satu kebiasaan lama saya adalah mengomentari sesuatu dengan cara satire. Entah kenapa, itu sudah jadi semacam hobi unik. Misalnya, waktu ada acara peringatan Hari Kemerdekaan, seorang ketua ormas yang kebetulan saya jadi dewan pembinanya, mengunggah status WhatsApp tentang meriahnya lomba 17-an. Saya iseng menanggapi dengan mengirimkan kutipan pendek dari Wiji Thukul: “Kemerdekaan adalah nasi dimakan menjadi taik.”

Hasilnya? Heboh. Mungkin karena kalimat itu terdengar seperti tamparan dibanding slogan. Padahal, kalau kita mau sedikit membaca ulang sejarah, kalimat itu pernah benar-benar menggemparkan.

Wiji Thukul, dengan gaya seniman jalanan yang lugas, pernah membacakan puisi itu dalam sebuah acara di Solo. Puisinya sederhana, bahkan terkesan kasar bagi sebagian orang, tetapi justru itulah kekuatannya. Kemerdekaan, katanya, jangan berhenti pada seremoni, jangan berhenti di spanduk dan lomba makan kerupuk. Kemerdekaan harus sampai ke perut rakyat.

Akibatnya? Wiji Thukul dan orang-orang di sekitarnya mendapat pengawasan dan tekanan aparat. Beberapa kawan dan warga sekitar bahkan pernah dipanggil untuk diperiksa di Kodim, menurut kesaksian yang terdokumentasi dalam laporan HAM dan liputan media. Meski begitu, tidak ada dokumen resmi yang mencatat “satu desa” dipanggil. Narasi itu lebih merupakan ingatan kolektif tentang betapa luasnya represi Orde Baru.

Bayangkan, sebuah puisi bisa membuat aparat mengira ada makar di balik metafora. Desa seakan ikut dicurigai hanya karena satu warganya berani menyuarakan kenyataan. Inilah ironi yang kadang membuat sejarah kita terasa lebih absurd daripada novel satir.

Tapi mari jujur: bukankah sekarang obrolan kita pun masih soal perut? Pemerintah bicara tentang makan bergizi gratis, tentang subsidi, tentang beras yang naik-turun harganya. Kepala BGN bahkan baru-baru ini menyampaikan data: setiap menit ada 6 bayi lahir di Indonesia, dengan sekitar 60% berasal dari keluarga miskin atau rentan miskin. Dan kalau kita lihat data terbaru dari BPS, tingkat kemiskinan keseluruhan memang turun ke 8,47 persen pada Maret 2025, tapi masih ada 5,36 juta anak usia sekolah dari keluarga termiskin (desil 1), di mana 422 ribu di antaranya putus sekolah.

Sementara itu, prevalensi stunting baru turun ke 19,8 persen tahun ini, tapi target 2025 masih 18,8 persen, seperti lari maraton di mana garis finishnya ikut mundur pelan-pelan. Angka-angka itu jelas bukan sekadar statistik, tapi potret getir bahwa setelah hampir 80 tahun merdeka, cita-cita para pendiri bangsa soal kesejahteraan masih terasa begitu jauh dari kenyataan yang diharapkan.

Maka, puisi Wiji Thukul yang dulu dianggap subversif itu justru semakin relevan. Ia mengingatkan bahwa kemerdekaan bukan soal bendera dikibarkan, tapi soal apakah perut rakyat kenyang atau tidak. Kita perlu merenungkan kembali pesan yang ia sampaikan.

Satire memang kadang pahit. Tapi bukankah lebih baik pahit daripada terus-menerus ditipu rasa manis buatan?

Penulis : Novita Sari Yahya
Penulis dan peneliti lepas yang pernah terlibat dalam kajian filantropi kesehatan bersama PKMK FKKMK UGM serta bergabung di Filantropi Indonesia