Kawal Rapat Depekab, Sekretaris FSPMI Purwakarta: Pengawalan Tidak Bisa Dilakukan Setengah Hati

Kawal Rapat Depekab, Sekretaris FSPMI Purwakarta: Pengawalan Tidak Bisa Dilakukan Setengah Hati

Purwakarta, KPonline-Penandatanganan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengupahan oleh Presiden Prabowo Subianto menjadi titik terang dalam menentukan arah suatu kebijakan.

Regulasi yang diumumkan langsung oleh Menteri Ketenagakerjaan Yassierli pada Selasa malam, 16 Desember 2025 itu pun kini resmi menjadi kompas nasional penetapan upah minimum. Namun di daerah industri seperti Purwakarta, PP tersebut justru memantik kekhawatiran baru.

Merespons beleid anyar itu, Dewan Pengupahan Kabupaten (Depekab) Purwakarta menggelar rapat di Kantor Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans), Jumat (19/12/2025). Agenda utama rapat adalah pembahasan Upah Minimum Kabupaten (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten (UMSK) Purwakarta tahun 2026.

Rapat ini dihadiri unsur lengkap Dewan Pengupahan yakni pemerintah daerah melalui Disnaker, asosiasi pengusaha (Apindo), kalangan akademisi, serta perwakilan serikat pekerja. Seluruh elemen buruh hadir dan bersuara, mulai dari SPSI yang berafiliasi dengan KSPSI AGN hingga FSPMI dan SPN yang berafiliasi dengan KSPI.

Namun di balik meja rapat yang tampak formal, tersimpan ketegangan serius. Bagi buruh, pembahasan UMK 2026 bukan sekadar rutinitas tahunan, melainkan pertarungan menentukan arah hidup kelas pekerja Purwakarta.

Sekretaris KC Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Purwakarta sekaligus Ketua PUK SPAMK FSPMI PT Sumi Indo Wiring System (SIWS), Ade Supyani, menegaskan bahwa agenda pengawalan upah tahun ini tidak bisa dilakukan setengah hati.
“Ini rapat pasti maraton. Sebab, waktunya sempit, rekomendasi harus masuk paling lambat tanggal 22 malam, sementara 23 sudah dijadwalkan rapat Dewan Pengupahan Provinsi. Tidak ada ruang lengah,” ujarnya kepada Media Perdjoeangan.

Ade mengungkapkan, kegelisahan buruh bermula dari substansi PP Pengupahan terbaru yang mengatur formula kenaikan upah berbasis inflasi dan pertumbuhan ekonomi dengan koefisien alfa di rentang 0,5 hingga 0,9. Menurutnya, rentang ini terlalu lebar dan rawan disalahgunakan.

Keterangan Foto: Dari Kiri Ke Kanan | Ade Supyani, Mustofa (PUK FSPMI SIWS) dan Erwin Agustian (PUK FSPMI SIWS)

“PP ini jujur di luar dugaan kami. Harapan buruh tidak seperti ini. Rentang alfa 0,5 sampai 0,9 itu berbahaya. Selalu saja yang dipakai angka paling rendah dengan alasan iklim investasi,” tegasnya.

Ia membeberkan hasil simulasi penghitungan UMK Purwakarta berdasarkan PP tersebut. Bahkan jika menggunakan alfa tertinggi sekalipun, yakni 0,9, kenaikan UMK Purwakarta dipastikan masih di bawah 6,5 persen karena mengacu pada inflasi Jawa Barat dan PDB daerah.

“Artinya apa? Secara angka, kita tetap tertinggal,” katanya.

Ade lalu menarik garis panjang sejarah kebijakan pengupahan yang dinilainya terus meminggirkan buruh Purwakarta. Sejak terbitnya PP 78 Tahun 2015 di era Presiden Jokowi, sistem kenaikan upah berbasis persentase membuat Purwakarta kian tertinggal dari daerah industri tetangga seperti Karawang. Kondisi ini diperparah dengan lahirnya PP 36 Tahun 2021, dimana UMK Purwakarta sempat stagnan dan nyaris tak bergerak.

“Tahun-tahun berikutnya pakai indeks, tapi tidak pernah maksimal. Pernah cuma 0,1–0,3. Ditambah aturan batas atas upah minimum, kita bahkan tidak dapat kenaikan inflasi. Akhirnya jarak makin jauh,” paparnya.

Jika 10–11 tahun lalu selisih UMK Purwakarta dan Karawang hanya sekitar Rp140 ribu hingga Rp200 ribu, kini disparitas itu melonjak drastis hingga mendekati Rp800 ribu.
“Padahal jaraknya cuma beberapa kilometer. Tidak elok, industri di Purwakarta diisi pekerja dari Karawang, sementara warga Purwakarta sendiri banyak yang hanya jadi buruh kontrak,” sindir Ade.

Bagi FSPMI, persoalan upah bukan sekadar angka di atas kertas. Upah buruh berkaitan langsung dengan daya beli dan denyut ekonomi daerah.
“Buruh ini penyumbang terbesar daya beli. Kalau upah ditekan, kuliner sepi, wisata lesu, ekonomi daerah ikut jatuh. Efek dominonya besar,” tegasnya.

Karena itu, FSPMI mendesak Bupati Purwakarta menggunakan kewenangannya secara penuh dengan memberikan alfa maksimal 0,9 dalam penetapan UMK 2026. Bahkan menurut Ade, kondisi Purwakarta layak mendapatkan perlakuan khusus sebagaimana diatur dalam regulasi terbaru.

“Kalau alfa maksimal saja masih di bawah tahun kemarin, apalagi kalau dikurangi. Mau tertinggal sejauh apa lagi? Mau selisih sejuta dengan Karawang?” katanya.

Ade menegaskan, kesabaran buruh ada batasnya. Jika hasil rapat Dewan Pengupahan Kabupaten tidak mencerminkan keadilan, maka aksi massa menjadi pilihan yang tak terhindarkan.
“Kami akan ajukan aksi. Buruh harus bertemu langsung dengan pimpinan daerah. Kalau di kabupaten tidak selesai, kami kawal sampai provinsi,” ujarnya.

Bagi buruh Purwakarta, PP Pengupahan Prabowo seharusnya menjadi momentum perbaikan, bukan pengulangan luka lama. Kini bola panas ada di tangan pemerintah daerah. Berpihak pada keadilan upah, atau membiarkan jurang ketimpangan semakin menganga.

Sampai Berita ini diturunkan, Rapat break sejenak. Kemudian dilanjut setelah solat Jumaat.