Konvergensi Perjuangan Buruh, Petani, dan Nelayan Melawan Kerakusan Korporasi

Konvergensi Perjuangan Buruh, Petani, dan Nelayan Melawan Kerakusan Korporasi

Jakarta, KPonline – Saya berkesempatan hadir dalam Forum Global Nyéléni Ketiga yang berlangsung di Kandy, Sri Lanka, pada tanggal 6 – 13 September 2025. Forum ini menghimpun lebih dari 700 delegasi dari 100 negara, dan menjadi ruang penting bagi berbagai gerakan sosial dunia untuk bertemu, berdiskusi, serta membangun strategi bersama menghadapi krisis pangan, krisis iklim, dan ketimpangan sosial yang terus memburuk.

Dalam sesi diskusi bersama serikat pekerja dari berbagai negara, saya diminta menjadi salah satu panelis. Di forum ini, saya membawa suara buruh Indonesia. Suara yang lahir dari realitas pasar kerja yang semakin fleksibel. Pasar kerja hari ini ditandai dengan kontrak pendek, outsourcing, upah murah, hingga kerja berbasis aplikasi yang membuat buruh kehilangan kepastian. Tidak ada jaminan pekerjaan, pendapatan yang tidak menentu, dan perlindungan sosial yang semakin rapuh.

Di Indonesia, lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja justru memperparah situasi. Meskipun buruh berhasil memenangkan gugatan di Mahkamah Konstitusi yang memerintahkan agar dibuat UU Ketenagakerjaan yang baru paling lambat dua tahun, hingga hari ini belum ada tanda-tanda pemerintah memulainya. Sementara itu, pemangkasan hak-hak buruh terus berlanjut.

Upah murah membuat daya beli kami rendah. Akibatnya, buruh semakin sulit mengakses pangan sehat. Ironisnya, banyak di antara kami yang bekerja di rantai pasok pangan—mulai dari perkebunan sawit hingga industri makanan—namun tetap hidup dalam ketidakpastian. Kami melihat langsung bagaimana petani, nelayan, dan buruh sama-sama ditekan oleh sistem yang dikuasai segelintir korporasi besar.

Di sinilah titik temunya. Perjuangan Nyéléni untuk kedaulatan pangan dan perjuangan buruh untuk kerja layak sesungguhnya menghadapi musuh yang sama: kerakusan korporasi. Mereka merampas tanah dan laut petani serta nelayan, mengendalikan harga pangan, sekaligus memaksakan sistem kerja fleksibel yang mengorbankan buruh. Selama kerakusan ini dibiarkan, petani akan terus kehilangan tanah, buruh akan terus kehilangan kepastian, dan rakyat akan kehilangan hak atas kehidupan yang bermartabat.

Saya juga menyoroti bagaimana nelayan dan perempuan nelayan terjebak dalam kemiskinan struktural akibat proyek-proyek ekstraktif dan eksploitatif seperti tambang, reklamasi, dan mega proyek pariwisata. Ironisnya, perampasan ruang di laut justru difasilitasi negara melalui kebijakan yang bukan untuk menyejahterakan masyarakat pesisir, melainkan merampas ruang hidup mereka. Bahkan militerisme dijadikan pengaman proyek-proyek ekstraktif, meninggalkan trauma mendalam di banyak wilayah pesisir.

Berbagai proyek yang diklaim sebagai solusi atas krisis pangan—seperti Ekonomi Biru, Giant Sea Wall, hingga Aquaculture—sesungguhnya hanya menjadi kedok penumpukan kapital. Negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dijebak dalam skema utang yang mendorong pelepasan sumber daya alam dan kenaikan pajak bagi masyarakat, sementara sumber daya perikanan terus digerus habis.

Di desa-desa pesisir, kedaulatan pangan hanya bisa tercapai jika masyarakat berdaulat atas laut dan pulau-pulaunya sendiri. Perlawanan ini terus dilakukan dengan membangun gerakan rakyat, memperkuat kelompok perempuan nelayan, mendorong solidaritas ekonomi feminis melalui koperasi, dan melanjutkan praktik baik masyarakat pesisir dalam menjaga laut dan pulau-pulaunya.

Karena itu, saya meyakini bahwa perjuangan buruh untuk kerja layak dan perjuangan petani serta nelayan untuk kedaulatan pangan harus bertemu dalam satu titik: mengakhiri kerakusan korporasi. Kita harus membangun konvergensi perjuangan, memperkuat solidaritas, memperluas kampanye bersama, dan menuntut kebijakan publik yang berpihak pada rakyat, bukan pada pasar semata. Semua ini demi kedaulatan rakyat atas hidupnya sendiri.