Medan,KPonline, – Gubernur Provinsi Sumatera Utara, Muhammad Bobby Afif Nasution, resmi menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) Sumut Tahun 2026 sebesar Rp 3.228.971, atau naik 7,9 persen dari UMP Tahun 2025.
Menanggapi kebijakan tersebut, Ketua Umum Serikat Pekerja Perkebunan Nasional (SPPN), Jonni Silitonga, SH, MH, menegaskan bahwa kenaikan UMP ini wajib disyukuri oleh seluruh kaum buruh di Sumatera Utara, meskipun kenaikan tersebut belum sepenuhnya menjawab persoalan kesejahteraan buruh secara substantif.
“Kenaikan UMP Sumut Tahun 2026 sebesar 7,9 persen atau setara Rp 236.412 per bulan patut disyukuri. Ini adalah hasil dari dinamika ekonomi dan kebijakan pemerintah yang tidak boleh dipandang sebelah mata,” ujar Jonni saat dikonfirmasi media ini, Jumat (19/12).
Namun Jonni mengingatkan, rasa syukur itu tidak boleh dimaknai secara naif. Buruh dituntut untuk menunjukkan tanggung jawab dengan meningkatkan kinerja, produktivitas, serta menjaga etika dan perilaku kerja agar iklim perusahaan tetap kondusif.
“Kenaikan upah pasti berdampak pada naiknya Harga Pokok Produksi (HPP). Ini menambah beban perusahaan. Jika produktivitas tidak ikut naik, maka stabilitas perusahaan akan terganggu. Ujungnya, bukan kesejahteraan yang didapat buruh, tetapi ancaman pemutusan hubungan kerja,” tegasnya.
Lebih jauh, Jonni menyentil akar persoalan yang selama ini sering dihindari dalam diskursus pengupahan, yakni kegagalan negara mengendalikan harga kebutuhan pokok.
“Dalam sistem ekonomi yang sehat, kenaikan upah seharusnya tidak mutlak diperlukan jika pemerintah mampu mengendalikan harga kebutuhan dasar hidup yang terdiri dari 64 komponen. Upah yang kecil tapi daya belinya terjaga jauh lebih bermakna dibanding upah besar yang habis dilahap inflasi,” jelasnya.
Ia menambahkan, kenaikan upah yang tidak dibarengi pengendalian harga hanya akan memicu efek domino: HPP naik, harga jual naik, produk tidak laku, perusahaan merugi, dan akhirnya gulung tikar.
“Pada titik itu, buruh kembali menjadi korban. Maka buruh harus jujur melihat realitas: ketidak-sejahteraan buruh bukan semata kesalahan pengusaha, tetapi kegagalan mutlak pemerintah yang tidak mampu mengontrol harga kebutuhan pokok dasar,” ujar Jonni dengan nada tegas.
Menurutnya, tingginya inflasi adalah bukti konkret bahwa negara belum hadir secara maksimal dalam melindungi daya beli rakyat.
“Selama negara abai mengendalikan harga, maka kenaikan UMP hanyalah angka di atas kertas. Buruh seolah naik kelas, padahal sesungguhnya tetap berjalan di tempat,” pungkasnya. (Anto Bangun)