Purwakarta, KPonline – Harapan kaum buruh agar upah minimum tahun 2026 naik di kisaran 8,5 hingga 10,5 persen tampaknya masih menjadi misteri. Jika angka kenaikan itu tak terealisasi, berarti menjadi bukti nyata bahwa regulasi ketenagakerjaan di Indonesia masih kusut, menyelimuti kesejahteraan rakyat pekerja yang terus tertunda.
Sudah lebih dari dua dekade reformasi berjalan, tetapi nasib kaum buruh atau kelas pekerja di negeri ini masih bergantung pada rumus-rumus teknokratis yang sering kali mengabaikan fakta kenyataan di lapangan. Mulai dari naiknya harga kebutuhan pokok, hingga ongkos pendidikan yang melonjak, dan atas hal itu tentunya mengarahkan ruang hidup pekerja ke arah yang semakin sempit.
“Kalau kenaikan upah minimum 2026 di bawah 8 persen, itu bukan hanya angka. Itu adalah potret ketimpangan yang masih dibiarkan. Regulasi kita gagal menjawab kebutuhan nyata buruh,” ujar Fuad BM, Ketua Konsulat Cabang FSPMI Purwakarta
Ia menilai, berbagai formula upah yang ditetapkan pemerintah sampai saat ini hanya mempersulit perjuangan buruh untuk memperoleh upah layak. “Selama dasar hukumnya masih berangkat dari UU Ketenagakerjaan yang sejak awal menihilkan peran serikat pekerja dalam penetapan upah, maka hasilnya akan terus mengecewakan,” tegasnya.
Buruh di berbagai daerah, mulai dari Purwakarta, Karawang, Bekasi, hingga Subang dan Cirebon, telah bersiap dengan argumentasi dan data bahwa kenaikan 8,5–10,5 persen merupakan angka rasional berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi daerah. Namun, pemerintah tampak masih bertahan pada pendekatan birokratis yang meniadakan konteks sosial kesejahteraan.
“Kalau bicara data inflasi, harga beras saja sudah naik hampir 20 persen setahun terakhir. Belum lagi biaya transportasi, sewa rumah, dan pendidikan anak. Jadi kalau pemerintah masih bicara kenaikan di bawah 8 persen, artinya mereka menutup mata terhadap realitas buruh,” tutur Adi Prasetyo, karyawan sekaligus pengurus PUK SPAMK FSPMI PT. Hino Motors Manufacturing Indonesia.
Ia menggambarkan, di tengah pendapatan yang stagnan, buruh harus menanggung beban hidup yang terus menanjak. “Kami tidak menuntut mewah, kami hanya ingin hidup layak. Tapi regulasi yang ruwet itu malah membuat kami semakin jauh dari kata sejahtera,” ucapnya lirih.
Walaupun sudah dimenangkan melalui putusan no 128, hingga kini, UU Cipta Kerja masih menjadi akar dari persoalan upah yang berbelit. Sejak Mahkamah Konstitusi menyatakan undang-undang tersebut beberapa pasalnya bermasalah, dunia kerja tidak kunjung membaik. Sebab sampai saat ini pemerintah belum membuat UU Ketenagakerjaan yang baru sesuai instruksi putusan MK tesebut. Sehingga masih memperkuat dominasi pengusaha dalam menentukan kebijakan upah dengan penggiringan opini jika upah tinggi pabrik tutup.
Menyadari kusutnya regulasi, berbagai serikat pekerja di bawah FSPMI yang berafiliasi dengan KSPI terus mendesak pemerintah. Baik itu ditingkat pusat ataupun daerah untuk mendorong kenaikan upah minimum 2026 di atas 8,5 persen, sesuai data kebutuhan hidup layak (KHL) di lapangan.
Singkatnya, naiknya upah minimum tidak sekadar soal angka persentase, tetapi tentang pengakuan atas kontribusi buruh dalam roda ekonomi nasional. Bila kenaikan 2026 kembali jauh dari harapan, maka itu pertanda bahwa sistem yang mengatur kesejahteraan pekerja belum berpihak sepenuhnya pada rakyat.
Buruh tidak menuntut lebih, hanya menagih janji konstitusi: “Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Maka jika upah minimum 2026 ditetapkan di bawah 8 persen, itu bukan sekadar kegagalan angka, melainkan gagalnya negara hadir melindungi rakyat pekerja. Dan selama regulasi masih kusut, selama itu pula kesejahteraan akan tetap menjadi impian yang tertunda di antara mesin-mesin pabrik dan keringat para buruh yang tak pernah berhenti bekerja.