Purwakarta, KPonline-November dan Desember 2025 bukan hanya tentang bulan yang posisinya berada di akhir tahun, melainkan juga tentang satu hal yang jauh lebih menentukan, yaitu penetapan upah minimum tahun 2026.
Dan di fase krusial inilah, gerakan buruh kembali menyiapkan diri untuk menunjukkan taringnya.
Semua mata pun tertuju pada angka seberapa besar kenaikan yang akan ditetapkan pemerintah untuk tahun 2026?
Para buruh, terutama yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) afiliasi Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), sudah menegaskan sikapnya sejak awal bahwa kenaikan upah 2026 harus berada di kisaran angka 8,5% hingga 10,5%.
Dan itu bukan asal tebak, melainkan hasil perhitungan realistis dari kebutuhan biaya hidup layak.
Momentum kenaikan tahun 2026 ini menjadi lebih istimewa setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023. Dimana, putusan tersebut menyatakan bahwa beberapa pasal dalam aturan turunan UU Cipta Kerja terkait pengupahan bertentangan dengan semangat konstitusi, terutama dalam hal jaminan kesejahteraan dan perlindungan pekerja.
Putusan itu setidaknya memberi sinyal kuat bahwa negara harus kembali ke semangat keadilan sosial. Kebijakan pengupahan tidak boleh semata didikte oleh pertumbuhan ekonomi dan inflasi, tetapi juga harus mempertimbangkan kebutuhan hidup layak (KHL) pekerja dan keluarganya.
Untuk itu, berbagai rencana aksi serentak pun mulai disiapkan oleh rakyat pekerja.
Dari Jakarta, Bandung, Bekasi, Karawang, Purwakarta, hingga Surabaya, para buruh berencana turun ke jalan menuntut kenaikan upah yang sesuai harapan.
Perlu digaris bawahi bahwa ini bukan suatu ancaman, tapi peringatan. Bila suara buruh tidak didengar, aksi besar pasti terjadi. Sesungguhnya, aksi bukan pilihan, tapi bentuk dari sebuah perlawanan setelah jalur dialog kerap menemui jalan buntu.
FSPMI-KSPI, dan berbagai konfederasi lain kini berada dalam mode siaga penuh. Mereka memperkuat koordinasi internal, menggelar rapat-rapat konsolidasi, serta menyiapkan kampanye publik untuk menjelaskan alasan perjuangan mereka kepada masyarakat luas.
Karena sesungguhnya, perjuangan buruh bukan sekadar untuk dirinya, tapi untuk keseimbangan sosial dan ekonomi bangsa.
Sementara itu, di sisi lain, pengusaha mulai mengeluarkan argumen klasik seperti biasanya dengan mengatakan ekonomi global yang tak stabil, beban produksi tinggi, dan daya saing industri yang semakin ketat. Namun bagi para buruh, alasan-alasan itu terdengar semakin usang.
Alhasil, kondisi ini membuat ruang tawar antara pekerja dan pengusaha kian tegang. Negosiasi berjalan dalam suasana penuh tekanan. Pemerintah, melalui Kementerian Ketenagakerjaan, diharapkan menjadi penengah yang adil bukan sekadar juru ketik keputusan yang sudah condong pada satu sisi.
Seperti diketahui, gerakan buruh Indonesia sudah berulang kali membuktikan bahwa mereka bukan hanya sekumpulan pekerja, tetapi juga kekuatan sosial yang mampu mengguncang kebijakan negara. Dari aksi menentang upah murah di awal 2000-an, mogok nasional 2012 dan 2013, hingga protes besar terhadap Omnibus Law di 2020 dan sejarah telah mencatat, buruh tidak pernah diam ketika haknya terancam.
Kini, ketika penetapan upah 2026 tinggal menghitung hari, taring gerakan buruh pun mulai tampak. Suara mereka tentang aksi unjuk rasa dan mogok nasional menggema di ruang publik, menembus batas pabrik, dan mengingatkan bahwa di balik setiap produk yang kita nikmati, ada keringat, ada perjuangan, dan ada keyakinan bahwa hidup layak adalah hak yang tidak bisa ditawar.