Jakarta, KPonline – Awal mula lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja atau lebih dikenal sebagai Omnibus Law bermula dari pidato Presiden Joko Widodo pada 20 Oktober 2019, sesaat setelah pelantikannya sebagai Presiden RI untuk periode kedua. Dalam pidatonya, Jokowi menegaskan keinginan menyederhanakan regulasi yang berbelit-belit sebagai jalan mempercepat pertumbuhan ekonomi sekaligus membuka lapangan kerja baru.
Tidak lama berselang, pemerintah membentuk Satuan Tugas Omnibus Law pada 17 Desember 2019 untuk merumuskan regulasi besar tersebut. Selanjutnya, pada 7 Februari 2020, pemerintah resmi menyerahkan draf RUU Cipta Kerja ke DPR RI.
UU Cipta Kerja disusun dengan beberapa alasan mendasar, diantaranya:
•Tumpang tindih regulasi. Indonesia dinilai memiliki terlalu banyak aturan yang saling berbenturan dan dianggap menghambat investasi.
•Percepatan ekonomi. Pemerintah menargetkan reformasi struktural agar ekonomi nasional tumbuh lebih cepat.
•Kemudahan berusaha. Regulasi baru diharapkan mampu memangkas birokrasi dan memberi kepastian hukum bagi pelaku usaha.
Namun, perjalanan UU Cipta Kerja jauh dari mulus. Sejak gagasan ini dilontarkan, gelombang protes datang dari berbagai kalangan, terutama serikat pekerja dan mahasiswa. Mereka menilai pembahasan berlangsung tertutup, minim partisipasi publik, serta berpotensi mengorbankan hak-hak pekerja.
Meski mendapat penolakan, DPR tetap mengesahkan RUU Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020. Tak lama kemudian, Presiden menandatangani beleid tersebut menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Di sinilah kontroversi kian tajam. Dalam klaster ketenagakerjaan, banyak pasal yang dinilai menurunkan derajat kesejahteraan buruh. Serikat pekerja seperti FSPMI yang berafiliasi dengan KSPI dan KSPSI AGN bersama Partai Buruh kemudian mengajukan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pada 2021, MK memutuskan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Pemerintah diberi waktu dua tahun untuk memperbaikinya.
Namun, bukannya menghentikan implementasi, Presiden Jokowi justru kembali memicu polemik dimana Ia mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang pada tanggal 31 Maret 2023.
Namun, Peraturan ini mengalami perubahan signifikan pada tahun 2024 setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan uji materi yang dilayangkan Partai Buruh. MK mengabulkan sebagian gugatan dan meminta perubahan pada 21 pasal UU Cipta Kerja.
Dan MK memerintahkan kepada pemerintah akan adanya pembentukan undang-undang baru terpisah untuk materi ketenagakerjaan karena undang-undang (Cipta Kerja) ini menuai banyak kontroversi, terutama terkait perubahan hak-hak buruh seperti pesangon, cuti, dan upah.
Selain itu UU ini dinilai mendorong peningkatan penggunaan tenaga kerja alih daya (outsourcing), yang berdampak pada pekerja kontrak dengan bayaran murah dan hilangnya pekerja permanen.
Namun, sampai saat ini pemerintah belum melaksanakan putusan MK tersebut. Sehingga, atas kondisi ini kembali memicu perlawanan.
Partai Buruh bersama koalisi serikat pekerja, antara lain FSPMI,SPN (KSPI) dan KSPSI AGN pada hari ini, Senin (22/9) mendatangi DPR RI, menuntut agar RUU Ketenagakerjaan baru yang pro buruh segera disahkan. Bagi mereka, perjuangan panjang ini bukan sekadar soal regulasi, melainkan upaya mempertahankan martabat dan kesejahteraan kelas pekerja.