Medan,KPonline, – Setiap kali terjadi bencana banjir dan menenggelamkan ribuan rumah, longsor yang merenggut ribuan nyawa, dan kekeringan mematikan ladang, yang terdengar hanyalah ratapan dan permohonan belas kasihan, air mata tumpah, mengharap ada yang simpati untuk memberi bantuan.
Satu hal yang luput dari perhatian danselalu dilupakan adalah tentang keberanian untuk bertanya jujur kepada diri sendiri.
“Apakah ini benar semua murni bencana alam, atau bencana yang sengaja diciptakan akibat ulah para manusia serakah dan kelalaian kita untuk melakukan pengawasan”
Hutan yang digunduli bukan hanya sekadar berbicara fakta tentang ratusan juta pohon yang ditebang, hutan yang digunduli adalah tentang benteng kehidupan yang sengaja diruntuhkan dengan sadar oleh para manusia serakah yang juga sengaja kita biarkan.
Ketika pepohonan ditebang tanpa kendali, tanah kehilangan penyangga, air kehilangan ruang resapan, dan alam kehilangan keseimbangannya. Maka banjir bandang dan longsor bukanlah kejutan, melainkan konsekuensi yang pasti.Alam hanya menagih utang dari keserakahan yang dibiarkan.
Menangisi bencana tanpa mengoreksi penyebabnya adalah kemunafikan kolektif. Kita berduka di hilir, tetapi memilih bisu di hulu. Kita mengutuk banjir, namun membiarkan izin-izin perusakan alam diteken, diwariskan, dan dilindungi. Lebih ironis lagi, suara rakyat sering kali kalah oleh kepentingan modal, sementara negara berdiri ragu di antara amanat konstitusi dan tekanan ekonomi.
Tulisan ini bukan upaya menyalahkan alam, melainkan mengadili sikap kita sendiri. Selama hutan diperlakukan semata sebagai komoditas, selama lingkungan hanya dihitung dalam angka keuntungan, maka bencana akan terus berulang,bukan sebagai takdir, melainkan sebagai hasil dari pilihan.
Bencana Banjir bandang pada akhir November 2025 yang melanda tiga provinsi di Pulau Sumatera, bukan akhir dari sebuah tragedi, tetapi ia akan kembali datang lagi selama kita semua terus diam dan membiarkan para manusia serakah terus merusak alam.
Pertanyaan yang harus kita jawan bersama hari ini, bukan lagi mengapa bencana datang, tetapi sampai kapan kita membiarkannya diciptakan?
Jika tangisan ingin bermakna, ia harus diubah menjadi keberanian, “berani menolak perusakan, berani menuntut pertanggungjawaban, dan berani menjaga hutan sebagai warisan kehidupan, bukan korban keserakahan.
Perlu untuk kita ketahui bersama, bahwa konstitusi telah berbicara dengan sangat jelas. Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia, dan Hak ini bukanlah hadiah, melainkan jaminan negara.
Perwujudannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 65 ayat (1) dan ayat (2) menegaskan hak setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta hak atas pendidikan lingkungan, akses informasi, partisipasi, dan keadilan. Lebih lanjut.
Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) memberi ruang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berperan aktif,mengajukan usul, menyampaikan keberatan, pendapat, dan pengaduan terhadap setiap rencana usaha atau kegiatan yang berpotensi merusak lingkungan.
Dengan demikian, partisipasi masyarakat dalam menjaga lingkungan bukan sekadar pilihan moral, melainkan hak konstitusional dan hak yuridis yang wajib dihormati oleh negara, pemerintah, dan setiap pelaku usaha.
Menjaga lingkungan bukan tindakan heroik, melainkan kewajiban. Dan membiarkan perusakan lingkungan, sambil menangisi akibatnya, bukanlah ketidaktahuan,melainkan kelalaian yang disengaja. (Anto Bangun)