Saya melihat ada satu persoalan besar dalam sistem jaminan sosial kita, khususnya BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Kedua program ini memang sudah menjadi jaminan sosial resmi negara, tetapi kenyataannya di lapangan justru sering menyulitkan pekerja ketika ingin mengklaim manfaatnya.
Aturannya begitu rumit, dan ironisnya, aturan itu tidak pernah benar-benar disosialisasikan kepada pekerja baik yang formal maupun informal. Banyak sekali masyarakat yang bingung dengan kebijakan yang dibuat.
Saya ambil contoh sederhana. Seorang pekerja muda, usianya baru 18 tahun, setelah lulus sekolah bekerja di perusahaan A sebagai pekerja kontrak. Dua tahun kemudian kontraknya selesai, lalu ia pindah ke perusahaan B, kembali didaftarkan dengan nomor KPJ baru.
Dua tahun berikutnya ia pindah lagi ke perusahaan C, dan lagi-lagi dibuatkan KPJ baru. Saat kontraknya di perusahaan C berakhir, ia mencoba mencairkan Jaminan Hari Tua, tapi klaimnya ditolak hanya karena belum melakukan pengkinian data di aplikasi JMO.
Masalah makin pelik karena ia tidak menyimpan paklaring dari perusahaan A dan B. Untuk mencairkan JHT, ia harus mendatangi perusahaan lama. Padahal, tidak semua perusahaan mau atau bisa ditemui lagi setelah bertahun-tahun.
Inilah yang akhirnya membuat banyak dana JHT menggantung, seolah tidak bertuan. Pekerja sudah membayar iuran, tapi tidak bisa merasakan manfaatnya karena terjebak birokrasi yang berbelit.
Kasus seperti ini bukan cerita satu-dua orang saja. Tahun 2024, data menunjukkan ada 55,06 juta pekerja melakukan perpindahan kerja. Saya meyakini, sebagian besar dari mereka adalah pekerja kontrak atau pekerja dengan status PKWT yang tidak mendapat kesempatan menjadi pekerja permanen.
Artinya, ada jutaan pekerja yang berpotensi mengalami masalah yang sama, memiliki banyak nomor KPJ, minim informasi soal hak jaminan sosial, dan kesulitan mencairkan manfaat ketika sudah tidak bekerja lagi.
Menurut saya, ada dua hal mendesak yang harus dilakukan negara. Pertama, permudah sistem verifikasi, cukup dengan KTP sebagai satu-satunya identitas. Jangan bebani pekerja dengan syarat administratif yang rumit. Kedua, lakukan sosialisasi sejak dini. Anak muda harus mendapatkan pemahaman soal jaminan sosial dan aturan ketenagakerjaan, bukan hanya dilatih untuk jadi tenaga kerja. Hal ini bisa dimulai dari sekolah atau kampus, sehingga begitu mereka masuk dunia kerja, mereka tidak buta terhadap hak-haknya.
Jika dua langkah ini dilakukan, barulah jaminan sosial bisa betul-betul menjadi pelindung pekerja, bukan sekadar program yang tampak baik di atas kertas tetapi sulit dirasakan manfaatnya oleh rakyat.
Tri Agung Setiawan
Wakil Presiden Bidang Pekerja Muda FSPMI