Purwakarta, KPonline-Diberbagai ruang diskusi, mulai dari warung kopi sampai kolom komentar media sosial, ada satu fenomena yang mungkin jarang sering terdengar ke permukaan, yaitu orang-orang yang paling keras berteriak tentang sosialisme justru adalah mereka yang paling tidak rela ketika uang di dalam dompet terpakai sedikit saja. Ironi yang tampak sepele ini sesungguhnya menggambarkan jurang besar antara slogan dan tanggung jawab, antara idealisme dan kenyataan yang tidak pernah mereka sentuh.
Sehingga, bisa dikatakan fenomena sosialisme instan aktualnya yakni kelompok yang lantang menuntut pemerataan, solidaritas, dan negara hadir penuh, tetapi wajahnya langsung berubah masam ketika diminta berkontribusi secara nyata: entah melalui iuran organisasi, patungan aksi, membantu sesama buruh, atau bahkan sekadar membeli produk lokal yang sedikit lebih mahal.
“Ini paradoks sosialisme teriak, tapi kapitalisme praktik. Yang bersuara paling keras biasanya adalah yang paling tidak siap memberi”.
Fenomena ini muncul bukan dalam ruang hampa. Di tengah kesenjangan ekonomi yang makin terasa, narasi sosialisme dan pemerataan memang menarik banyak pendukung. Namun, masalah muncul ketika semangat itu hanya berhenti pada gaya bicara performance activism tanpa kesadaran bahwa perubahan sosial tidak hanya ditopang oleh makna besar, tetapi juga oleh komitmen keseharian.
Banyak aktivis buruh dan serikat pekerja mengakui, sejumlah anggota baru hanya semangat ketika bicara soal perjuangan kelas, tetapi hilang arah ketika disodori kebutuhan organisasi seperti; iuran, logistik aksi, atau urusan solidaritas yang butuh tenaga dan pengorbanan. Ada yang bahkan mengeluh ketika sekadar uang transport aksi harus keluar lebih dari biasanya.
“Baru keluar sepuluh ribu saja langsung ngomel. Tapi kalau ngomong tegas soal ideologi, paling depan,” ujar seorang pengurus serikat pekerja saat dikonfirmasi Media Perdjoeangan.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar dan penting. Apakah sebagian orang benar-benar memahami apa yang mereka suarakan? Atau mereka hanya menikmati euforia identitas baru tanpa tanggung jawab moral di baliknya?
Sebagai penulis menilai, ini akibat dari budaya instan dimana orang ingin terlihat membela kelas pekerja, tapi tidak siap menjalankan konsekuensinya. Sosialisme dianggap sekadar slogan yang keren, bukan komitmen yang menuntut pengorbanan. Padahal sejarah menunjukkan bahwa tidak ada perubahan sosial yang lahir dari orang-orang yang takut dompetnya menipis.
Sementara itu, di beberapa komunitas, aktivis yang benar-benar bekerja di lapangan justru merasa lelah oleh orang-orang yang berisik di media sosial tetapi nihil kontribusi. Mereka menegaskan bahwa perjuangan bukan sekadar teori atau konten provokatif yang dibagikan, melainkan proses panjang penuh disiplin, pengorbanan, dan kebersamaan.
Dan pada akhirnya, ironi ini menohok satu kebenaran, dimana Bersosialis bukan hanya tentang apa yang kita teriakkan, tetapi apa yang kita berani tanggung.
Jika uang sedikit terpakai saja sudah membuat gelisah, lalu bagaimana mungkin seseorang siap memperjuangkan pemerataan dan solidaritas yang jauh lebih besar?
Sampai mentalitas ini berubah, sosialisme versi teriakan keras tetapi komitmen tipis tampaknya hanya akan menjadi meme sosial yang terus berulang, bukan gerakan yang membawa perubahan nyata.