Gubernur Wajib Menetapkan Upah Minimum Sektoral Provinsi

Gubernur Wajib Menetapkan Upah Minimum Sektoral Provinsi

Purwakarta, KPonline-Mahkamah Konstitusi (MK) kembali mengguncang fondasi kebijakan ketenagakerjaan nasional. Melalui putusan No.168/PUU-XXI/2023, lembaga penjaga konstitusi itu seperti menampar balik pembentuk undang-undang yang terlalu nyaman bermain-main dengan nasib buruh. Putusan setebal 687 halaman itu bukan sekadar koreksi—melainkan pembongkaran atas sejumlah pasal di UU No.6/2023 (Cipta Kerja versi pengesahan DPR), terutama pada klaster ketenagakerjaan yang sejak awal dituding sarat kepentingan pengusaha.

Salah satu pukulan paling keras MK datang dari poin kedua belas amar putusan, yang memenegaskan bahwa vGubernur wajib menetapkan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP).

Ya, wajib. Bukan dapat, bukan dibolehkan jika sempat, dan bukan diatur kemudian.
Ini adalah perubahan besar dari UU 6/2023 yang tidak pernah mengatur kewajiban tersebut.

Masalahnya, standar UMSP bukan seperti menentukan tarif parkir. Untuk menetapkan UMSP, Gubernur harus mengantongi kesepakatan antara serikat buruh dan asosiasi pengusaha di sektor terkait. Dan inilah pangkal kekacauan:

• Jika buruh dan pengusaha tak sepakat, apakah Gubernur tetap bisa menetapkan UMSP?

• Jika Gubernur tak menetapkan UMSP, apakah itu pelanggaran terhadap putusan MK?

• Jika kewenangan tanpa acuan ini dipaksakan, bukankah itu membuka kotak pandora konflik baru?

Hingga sekarang, belum semua provinsi pun punya UMSP. Lalu MK datang dan berkata, “Gubernur, lakukan.”
Sungguh mandat yang terdengar tegas, namun tanpa pedoman teknis yang jelas, seperti menyuruh seseorang membangun rumah tanpa denah.

Perubahan signifikan ini memaksa pemerintah bergerak cepat. Maka lahirlah Permenaker No.16 Tahun 2024 tentang Penetapan Upah Minimum 2025.

Namun, Permenaker ini sejatinya hanya tambal-sulam jangka pendek. MK tidak hanya mengobrak-abrik UMSP, tapi juga:

• Mengubah cara pandang soal formula upah minimum,

• Mengoreksi konsep indeks tertentu,

• Dan menegaskan bahwa frasa dalam keadaan tertentu hanya boleh ditetapkan oleh Presiden.

Artinya, bila suatu hari negeri ini kembali dilanda pandemi atau krisis, Presiden wajib turun tangan langsung menetapkan kebijakan upah, bukan sekadar Menaker lewat peraturan teknis.

Putusan MK ini seperti mengatakan bahwasanya tidak ada lagi ruang bagi kebijakan upah abal-abal yang berlindung di balik regulasi turunan.

Sejak putusan itu dibacakan, kalangan pengusaha pun memilih posisi aman, diam seribu bahasa. Tidak ada pernyataan sikap, tidak ada kritik resmi, seolah mereka sedang menghitung ulang seluruh potensi risiko sebelum membuka suara.

Buruh?
Suasana berbeda. Serikat pekerja menyambut gembira putusan tersebut—walaupun dari 69 dalil yang diajukan, hanya 21 yang dikabulkan.

Namun 21 dalil itu bukan kemenangan kecil. MK mengelompokkannya ke dalam 7 substansi besar, yaitu:

1. Tenaga Kerja Asing (TKA)

2. PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu)

3. Outsourcing

4. Cuti

5. Upah

6. PHK (pemutusan hubungan kerja)

7. Pesangon

Dan MK secara lugas menyatakan, ada masalah serius dalam ketujuh isu ketenagakerjaan itu.

Dengan kata lain:
UU 6/2023 tak sepenuhnya menjamin perlindungan buruh.

Dalam putusan panjang ini, MK mengulangi kritik klasik namun relevan:

Relasi buruh dan pengusaha timpang.

Pengusaha jauh lebih kuat secara ekonomi, politik, hingga akses hukum. Buruh? Ya, kita tahu ceritanya:
selalu berada di pihak yang butuh perlindungan, bukan persaingan.

Oleh karena itu, MK memerintahkan negara:

• Menata ulang regulasi,

• Mengembalikan norma perlindungan pekerja ke level undang-undang,

• Menghapus ketergantungan terhadap aturan turunan seperti PP dan Permenaker.

Putusan ini juga menyinggung sejarah kelam:

• UU 11/2020 (Cipta Kerja) pernah dinyatakan inkonstitusional bersyarat karena buruknya partisipasi publik.

• Pemerintah merespons dengan menerbitkan Perppu, yang kemudian disahkan menjadi UU 6/2023—tanpa memperbaiki akar masalah.

Bagi MK, proses kecepatan kilat pembentukan UU 6/2023 adalah alarm bahaya yang kini harus dibenahi.

Kemudian, ini bagian paling penting namun paling sering diabaikan:

MK memerintahkan pembentuk undang-undang membuat regulasi ketenagakerjaan baru.
Terpisah dari UU 6/2023.
Dan harus merangkum ketentuan UU 13/2003 serta seluruh putusan MK yang relevan.

Ini bukan sekadar “catatan perbaikan”.
Ini adalah mandat konstitusional.

Mandat yang berarti:

• Pemerintah dan DPR harus membuat UU Ketenagakerjaan baru.

• Tidak boleh sekadar menyisipkan atau menempel-lampirkan aturan dalam UU Cipta Kerja.

• Dan harus memastikan partisipasi buruh dan pengusaha berjalan dengan makna, bukan sekadar formalitas undangan rapat.

Putusan MK No.168/PUU-XXI/2023 bukan sekadar dokumen hukum. Ini adalah alarm yang memanggil negara untuk kembali kepada akal sehat, yakni berpihaklah pada rakyat pekerja, bukan pada stabilitas ekonomi semu yang hanya menguntungkan segelintir elit industrialis.

Apakah pemerintah kali ini benar-benar akan menjalankan mandat konstitusi, atau kembali memilih jalan pintas demi kenyamanan investasi?

Dan sebagaimana sejarah menunjukkan:
Ketika negara ragu, buruh selalu siap turun ke jalan untuk mengingatkan siapa sebenarnya yang menggerakkan roda ekonomi negeri ini.