Gratifikasi Berkedok Koordinasi Sistim Busuk yang Terus Berlangsung

Gratifikasi Berkedok Koordinasi Sistim Busuk yang Terus Berlangsung

Medan,KPonline, – Tradisi busuk yang terus berjalan di negeri ini sudah jadi rahasia umum, “koordinasi”, Istilah ini terdengar rapi, sopan, bahkan seperti bagian dari sinergi antara pengusaha dan

Aparat Penegak Hukum (APH). Padahal, sejatinya ini hanyalah ritual gratifikasi terselubung.

Perusahaan dipanggil untuk koordinasi, bahasanya indah“mari jaga hubungan baik, agar operasional aman, tidak ada gangguan hukum”.

Tapi ujungnya jelas, amplop harus keluar, siapa yang tidak paham kode ini, Semua pelaku usaha tahu, koordinasi artinya setoran bulanan harus lancar, bila tersendat panggilan berdalih undangan siap menanti

Namun, yang paling ironis adalah, sudah setor pun, tetap diperas!

“Uang koordinasi tetap lancar ” tetapi ada saja delik yang dijadikan dasar untuk pemanggilan berkedok undangan, alasannya laporan pengaduan masyarakat (Dumas). Semua menjadi pintu masuk baru menguras isi brankas perusahaan.

Pertanyaannya, buat apa gratifikasi kalau ujungnya tetap jadi sapi perahan.

Ini bukan sekadar koordinasi, tetapi rantai pemerasan yang dilegalkan oleh budaya diam, dan terus berlangsung karena semua pihak pura-pura tidak tahu. Perusahaan diam karena takut. Aparat senyum karena kenyang. Dan negara sibuk bikin slogan “Berantas Korupsi” sambil menutup mata terhadap pemalakan sistematis berkedok aturan.

Gratifikasi berkedok koordinasi lebih busuk dari korupsi biasa, dibungkus dengan kata-kata manis, didukung prosedur formal, dan dijalankan dengan dalih menjaga ketertiban hukum. Padahal, isinya pemerasan terselubung.

Ini bukan lagi soal menjaga hubungan baik. Ini soal siapa yang punya kuasa untuk menekan, siapa yang siap bayar untuk selamat. Sebuah ekosistem kotor yang membuat bisnis bukan lagi soal kompetensi, tapi soal seberapa tebal amplop yang bisa keluarkan dari pengusaha.

Realitanya, banyak perusahaan akhirnya menjadi ATM berjalan. Setiap ada isu hukum,benar atau dibuat-buat,amplop harus disiapkan. Setiap ada proyek baru, “koordinasi” harus dilakukan. Bahkan, kadang uang koordinasi lebih besar dari biaya produksi.

Pertanyaannya siapa korban yang paling menderita.

Korban yang paling menderita para buruh yang bekerja dibagian produksi, sebab biaya gratifikasi berkedok koordinasi seluruhnya menjadi beban biaya operasional perusahaan dan menjadi beban harga pokok produksi secara otomatis menambah beban dipundaknya buruh.

“Pengusaha itu tidak bodoh, sebesar apapun biaya operasional perusahaan, seluruh biaya tersebut tetap menjadi beban produksi”

Dari sini jelas diketahui rantai penghisapan kepada buruh bukan saja dilakukan oleh pengusaha, tetapi secara terselubung Aparat Penegak Hukum (APH) turut serta menghisap keringat buruh.

Gratifikasi berkedok koordinasi mestinya segera dihentikan, sebab

bilq sistem ini terus dibiarkan, berarti kita semua sedang membangun industri pemerasan yang lebih rapi daripada mafia.

Serikat buruh sebagai salah satu organ yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan perusahaan harus berani bersuara, berani mengungkap dan membongkar praktik kotor dan busuk ini.

Kalau serikat buruh tetap bungkam maka selamanya bisnis di negeri ini akan berjalan di atas uang koordinasi, bukan kepastian hukum.

Selama gratifikasi dibungkus “koordinasi” terus dibiarkan berlangsung maka pemerasan akan selalu punya wajah legal.(Anto Bangun)