Oleh: Elvan Septian
Purwakarta, KPonline-Gelombang relokasi perusahaan dari kawasan industri besar menuju daerah dengan upah minimum yang lebih rendah kembali marak dalam dua tahun terakhir. Langkah ini sering dibenarkan sebagai strategi “bertahan hidup” di tengah meningkatnya biaya produksi, menurunnya permintaan, serta membanjirnya produk impor murah dari Tiongkok. Namun, para pakar hukum dan ekonomi memandang fenomena ini sebagai respons instan yang tidak menyelesaikan akar persoalan industri nasional.
Relokasi: Antara Strategi Bertahan atau Jalan Pintas?
Bagi pengusaha, memindahkan lokasi pabrik ke daerah dengan upah minimum lebih rendah dianggap sebagai cara cepat menekan biaya operasional. Namun, menurut analisis para ahli hukum progresif, strategi ini bersifat reaktif, jangka pendek, dan berisiko menciptakan masalah sosial-ekonomi baru.
Elvan septian, menyatakan bahwa kebijakan relokasi untuk mencari upah murah “tidak dapat dipandang sebagai solusi struktural”. Ia menegaskan:
“Relokasi hanya memindahkan masalah, bukan menyelesaikannya. Jika regulasi, beban produksi, dan persaingan global tidak dibenahi, perusahaan akan tetap menghadapi tekanan meski telah pindah ke wilayah upah lebih rendah.”
Pendapat ini sejalan dengan perspektif Teori Hukum Progresif, yang menekankan bahwa hukum, termasuk regulasi industri dan ketenagakerjaan, harus mampu menjawab realitas sosial dan perkembangan ekonomi. Langkah relokasi yang hanya mengejar ongkos buruh rendah menunjukkan kegagalan sistem regulasi untuk menciptakan ekosistem industri yang sehat dan berkelanjutan.
Persaingan Tidak Seimbang dengan Produk Impor
Masalah utama yang lebih mendasar adalah meningkatnya arus barang impor murah, terutama dari Tiongkok. Banyak produk impor memiliki harga yang tidak mungkin disaingi oleh barang produksi dalam negeri karena:
• skala produksi industri Tiongkok yang jauh lebih besar,
• dukungan permodalan dan teknologi yang kuat,
• kebijakan subsidi negara yang agresif,
• efisiensi logistik dan transportasi yang lebih matang.
Dalam konteks ini, perusahaan domestik berada dalam posisi sulit. Upaya relokasi pabrik demi menekan upah tidak akan mampu menandingi dampak struktural tersebut.
Menurut Teori Sistem Hukum (Luhmann), kegagalan ini menandakan lemahnya koordinasi antara sistem hukum, ekonomi, dan kebijakan industri. Ketidaksingkronan regulasi impor, pengawasan barang masuk, kurangnya penguatan industri lokal menyebabkan industri nasional kehilangan daya tahan.
Apakah Pengusaha Telah Menyampaikan Akar Masalah ke Pemerintah?
Sejumlah pelaku industri mengaku telah berkali-kali menyampaikan persoalan tersebut kepada pemerintah melalui asosiasi sektor. Namun, respons kebijakan dinilai belum signifikan. Sebagian besar kebijakan masih berfokus pada:
• penyederhanaan izin,
• penyesuaian upah,
• atau insentif pajak yang tidak terstruktur.
Pendekatan regulasi seperti ini bersifat legalistik–positivistik, yaitu menganggap bahwa cukup dengan membuat aturan tertulis, maka masalah selesai. Padahal, menurut Teori Hukum Progresif Satjipto Rahardjo, hukum tidak boleh berhenti pada aturan, tetapi harus menghasilkan perubahan real, termasuk keberpihakan pada kelangsungan industri nasional dan perlindungan pekerja.
Tanpa strategi industrialisasi jangka panjang—mulai dari penguatan rantai pasok, peningkatan teknologi, perlindungan terhadap dumping, hingga penataan regulasi impor—usaha domestik akan terus terdesak oleh produk luar.
Akar Keterpurukan Industri Dalam Negeri
Kami mengidentifikasi setidaknya lima akar struktur persoalan:
1. Kebijakan anti-dumping dan pengawasan impor yang lemah, sehingga barang murah membanjiri pasar.
2. Biaya logistik domestik yang tinggi, membuat produk lokal lebih mahal sejak dari pabrik.
3. Minimnya insentif teknologi dan modernisasi mesin, membuat banyak industri tertinggal dari sisi efisiensi.
4. Paradigma pengusaha yang masih bergantung pada buruh murah, bukan pada inovasi, otomatisasi, dan peningkatan nilai tambah.
Dalam kerangka teori hukum pembangunan (Mochtar Kusumaatmadja), hukum seharusnya menjadi alat pembaharuan masyarakat—bukan sekadar perangkat administratif. Namun kenyataannya, regulasi industri dan ketenagakerjaan belum diarahkan untuk membangun daya saing nasional, melainkan masih terjebak pada solusi parsial seperti penekanan upah.
Apakah Relokasi Bisa Dianggap Solusi?
Relokasi mungkin efektif dalam menurunkan biaya upah dalam jangka pendek, tetapi tidak menyelesaikan:
• serangan produk impor murah,
• ketidakefisienan rantai pasok,
• rendahnya teknologi,
• lemahnya kebijakan industri nasional.
Dalam jangka panjang, perusahaan yang hanya mengandalkan upah murah akan kembali menghadapi tekanan yang sama di lokasi baru. Ini menciptakan lingkaran stagnasi, bukan pertumbuhan.
Elvan septian, menegaskan:
“Indonesia bukan kalah karena upah tinggi, tetapi kalah karena efisiensi dan kebijakan industri yang tidak terintegrasi. Relokasi hanyalah tanda bahwa sistem regulasi perlu dibenahi dari akar.”
Terakhir Elvan Septian menyampaikan bahwa Gelombang relokasi pabrik menunjukkan bahwa dunia industri berada di bawah tekanan struktural yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan menurunkan biaya tenaga kerja. Tanpa perbaikan regulasi impor, peningkatan produktivitas, insentif teknologi, serta kebijakan industri yang visioner, relokasi hanya menjadi pelarian sementara dari masalah yang lebih besar.
Jika pemerintah dan pengusaha tidak segera berkolaborasi menyusun strategi jangka panjang, maka relokasi akan menjadi gejala awal dari deindustrialisasi—sebuah kondisi yang jauh lebih berbahaya bagi ekonomi nasional.
“Stop Import barang import dari china, agar industri lokal bangkit kembali”.