Jakarta, KPonline-Menjelang penghujung tahun, suasana perburuhan di Indonesia kembali berada dalam atmosfer memanas. Bara gerakan buruh yang selama ini membara di bawah permukaan, kini menyala terang hadir ke permukaan setelah wacana kenaikan Upah Minimum 2026 tak kunjung datang.
Di berbagai daerah, serikat pekerja mulai mempersiapkan aksi besar, konsolidasi lapangan digencarkan, dan tuntutan untuk koreksi kebijakan kembali mengemuka dengan lantang.
Pemerintah yang diketahui tengah memfinalisasi formulasi upah minimum tahun 2026 disebut-sebut masih berpijak pada skema regulasi yang dinilai menguapkan esensi perlindungan upah. Kalangan buruh menilai bahwa formula yang mengacu pada turunan UU Cipta Kerja yang sejak awal dipersoalkan karena dianggap menekan ruang negosiasi buruh kembali berpotensi menghasilkan angka upah yang jauh dari kelayakan.
Di kawasan industri, baik di Jabodetabek, Purwakarta, Karawang, hingga Surabaya, rapat-rapat anggota serikat pekerja berlangsung hampir setiap hari. Pimpinan PUK, sektor-sektor serikat, hingga Garda Metal turun langsung memetakan kekuatan. Dan seruan siaga satu pun mulai dikumandangkan.
Para buruh melihat tahun 2026 sebagai momentum untuk menunjukkan bahwa mereka bukan sekadar objek kebijakan, melainkan subjek yang harus didengar. Ketidakpuasan itu mengalir deras dari pabrik hingga jalanan. Banyak pekerja menyebut bahwa upah minimum hari ini tidak lagi mampu menutup biaya hidup satu keluarga kecil, apalagi bagi mereka yang memiliki tanggungan pendidikan anak dan kebutuhan dasar lain yang terus merangkak naik.
Sementara itu, sebagian pengusaha terus menyuarakan keberatan. Mereka menyebut wacana kenaikan upah 2026 yang diproyeksikan sejumlah Federasi serikat pekerja beserta afiliasinya mencapai kisaran 8–10 persen, terlalu tinggi. Alasan klasik seperti perlambatan ekonomi, penurunan permintaan global, hingga efisiensi operasional kembali dimunculkan.
Tetapi di kubu rakyat buruh, narasi itu dianggap hanya kedok untuk mempertahankan margin keuntungan. Serikat pekerja menantang argumen tersebut dengan menunjukkan fakta bahwa produktivitas pekerja terus naik, kapasitas industri nasional stabil, dan banyak insentif telah digelontorkan pemerintah kepada pelaku usaha selama beberapa tahun terakhir.
Bagi buruh, jika pengusaha menganggap kenaikan upah ketinggian, maka hidup yang mereka jalani selama ini jauh lebih merosot dari standar kelayakan yang semestinya.
Dengan semua dinamika itu, bola panas upah minimum kini berada di tangan pemerintah pusat dan daerah. Namun jika aspirasi buruh kembali diabaikan seperti beberapa tahun terakhir, potensi munculnya aksi besar hampir tak terhindarkan. Bahkan sejumlah tokoh buruh menyebut tahun 2026 bisa menjadi titik balik gerakan rakyat pekerja.
Indikasi perlawanan sudah tampak di berbagai daerah. Bali, Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta, Jawa Timur hingga Batam dengan mulai menyiapkan rute aksi, logistik massa, dan instrumen kampanye. Poster digital dan seruan aksi membanjiri lini masa media sosial serikat pekerja.
Bagi para buruh, perjuangan upah minimum bukan hanya persoalan angka tahunan, tetapi simbol pertarungan panjang terhadap ketidakadilan struktural yang terus berulang. Upah yang seharusnya menjadi instrumen kesejahteraan dirasakan justru kerap menjadi alat penekan.
Menjelang penetapan resmi, bara gerakan buruh hanya menunggu hembusan angin berikutnya. Jika pemerintah mengabaikan tuntutan mereka, bukan tidak mungkin tahun 2026 akan dibuka dengan gelombang aksi besar yang menghantam pusat-pusat industri.
Buruh telah membuktikan bahwa mereka tidak lagi gentar. Bara itu telah menyala, dan kali ini, mereka siap memastikan nyala itu menerangi perjuangan. Bukan hanya untuk upah tahun 2026, tetapi untuk masa depan yang lebih layak bagi seluruh pekerja Indonesia.