Gelapnya Upah Minimum Buruh 2026

Gelapnya Upah Minimum Buruh 2026
Isu Jaminan Sosial dan Tolak Upah Murah (JAMSOSTUM) merupakan isu penting bagi serikat pekerja.

Jakarta, KPonline-Menjelang tenggat 21 November, ketika pemerintah semestinya sudah mengetok palu penetapan Upah Minimum (UM) 2026, atmosfer perburuhan justru dipenuhi tanda tanya besar. PP Nomor 36 Tahun 2020 mewajibkan UMP ditetapkan paling lambat 21 November, disusul UMK pada 1 Desember 2025. Namun hingga hitungan hari terakhir, kepastian itu masih kabur. Seolah pemerintah sedang menahan napas publik pekerja sambil memainkan sesuatu di balik layar.

Di saat ketidakjelasan merayap, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengaku mendapat bocoran bahwa pemerintah dan pengusaha disebut telah sepakat diam-diam menggunakan variabel baru bernama “indeks tertentu” sebesar 0,2 sampai 0,7. Variabel ini diklaim sebagai “representasi kontribusi buruh terhadap pertumbuhan ekonomi”. Masalahnya, angka itu muncul tanpa satu pun dasar akademik, survei lapangan, atau kajian valid.

“Ini akal-akalan dari pengusaha Apindo yang berkoalisi dengan Menaker dan Wamenaker. Tidak ada survei, tidak ada riset, tidak ada kajian akademik yang menjelaskan dari mana angka 0,2–0,7 itu berasal,” tegas Presiden KSPI Said Iqbal (18/11).

Jika rumor itu benar, masa depan kenaikan Upah Minimum (UM) 2026 terlihat makin gelap. Dengan formula campuran antara inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu 0,2–0,7, hitung-hitungan KSPI memperkirakan kenaikan UM hanya 3,75 persen. Angka ini:

• lebih rendah dari kenaikan tahun lalu yang mencapai 6,5 persen,

• lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi nasional 5,04 persen (Q3 2025),

• jauh lebih rendah dari kebutuhan hidup yang terus melonjak.

Di provinsi padat industri seperti Jawa Barat, kenaikan 3,75 persen berarti buruh hanya menerima tambahan sekitar Rp80 ribu per bulan. Angka yang bahkan tak cukup menutup kenaikan harga beras dalam sebulan.

“Ini bukan hanya tidak logis, tetapi juga menghina akal sehat dan martabat kelas pekerja,” ujar Iqbal.

Dari kubu pengusaha, Apindo menyerukan narasi klasik soal “keseimbangan pertumbuhan ekonomi dan produktivitas”. Mereka menilai tuntutan buruh, yakni kenaikan 6,5 sampai 10,5 persen adalah terlalu tinggi dan berpotensi menekan UMKM.

Apindo juga mengaku kabar mengenai indeks tertentu 0,2–0,7 sudah mereka dengar, namun informasinya masih simpang-siur. Meski begitu, suara pengusaha tetap bulat, yaitu upah minimum jangan naik terlalu tinggi.

Mereka menambahkan, bila upah terlalu besar, UMKM akan sulit naik kelas menjadi sektor formal. Padahal saat ini, berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), komposisi tenaga kerja Indonesia masih didominasi sektor informal:

• 57,80% pekerja berada di sektor informal

• 42,20% di sektor formal (buruh/karyawan/pegawai)

Naiknya proporsi sektor formal tahun ini memang terjadi, namun hanya sedikit—jauh dari cukup untuk mengubah struktur pasar tenaga kerja yang timpang.

Menanggapi hal tersebut, gerakan buruh kembali menegaskan bahwa pemerintah tak boleh mendesain rumus upah minimum secara sembunyi-sembunyi dengan satu pihak saja. Rumus harus didefinisikan melalui regulasi yang jelas, berbasis data ilmiah, serta melibatkan pekerja sebagai pihak yang terdampak langsung.

Pada tahun lalu saja, pemerintah memakai formula yang relatif transparan:

• Inflasi: 3 persen

• Pertumbuhan ekonomi: 5 persen

• Indeks tertentu: 0,7

• Kenaikan: 6,5 persen

Pertanyaannya? mengapa sekarang pemerintah tiba-tiba menurunkan indeks itu menjadi 0,2–0,7 tanpa dasar ilmiah?
Jika benar demikian, maka pemerintah bukan hanya menurunkan angka—tetapi menurunkan martabat pekerja Indonesia.

Menjelang 21 November, buruh menunggu keputusan pemerintah sambil menahan amarah. Hubungan industrial kembali berada di titik panas, bukan karena kalkulasi ekonomi yang sulit, tetapi karena hilangnya transparansi dan keberpihakan.

Rumus upah minimum seharusnya bukan transaksi gelap antara pengusaha dan pemerintah. Ia adalah hak konstitusional jutaan pekerja, penentu daya beli keluarga buruh, dan barometer keberpihakan negara.

Jika pemerintah tetap memakai indeks siluman 0,2–0,7, maka 2026 bukan hanya tahun kenaikan upah yang rendah. Tetapi, tahun ketika negara memilih untuk mengecilkan nilai buruh sebagai kontribusi pembangunan.

Dan itulah sebagaimana dinilai banyak pengamat perburuhan, penghinaan paling terang-terangan terhadap kelas pekerja dalam satu dekade terakhir.