Purwakarta, KPonline – Setiap tahun, menjelang penetapan upah minimum, jalan-jalan ibu kota hingga kawasan industri selalu kembali dipenuhi suara klakson, bendera serikat pekerja, dan teriakan tuntutan. Buruh turun ke jalan, bukan karena ingin melawan negara atau mengganggu ketertiban, melainkan karena perut yang menuntut keadilan.
Gejolak upah buruh di Indonesia seolah menjadi ritual tahunan yang tak pernah menemukan penyelesaian, sementara praktik outsourcing yang awalnya dijanjikan sebagai solusi fleksibilitas pasar tenaga kerja justru berubah menjadi lingkaran ketidakpastian yang memperpanjang penderitaan kelas pekerja.
Upah minimum seharusnya menjadi jaring pengaman agar pekerja bisa hidup layak. Namun faktanya, upah minimum justru sering diperlakukan sebagai upah maksimum oleh banyak perusahaan. Buruh diangkat dengan gaji sesuai UMR, tanpa ada ruang peningkatan signifikan meski bertahun-tahun mengabdi. Bahkan di beberapa daerah, nilai upah minimum masih jauh dari angka kebutuhan hidup layak (KHL).
Ironisnya, setiap kali buruh menuntut kenaikan upah 8–10 persen, argumen klasik pengusaha selalu muncul: daya saing, efisiensi, dan risiko investasi hengkang. Seolah-olah kesejahteraan buruh harus dikorbankan demi menarik investor asing. Padahal, buruh bukan hanya faktor produksi, melainkan manusia yang membutuhkan rumah, pendidikan anak, kesehatan, dan masa depan.
Jika soal upah minimum adalah gejolak tahunan, maka outsourcing adalah bom waktu jangka panjang. Konsep ini awalnya digagas oleh pemerintah agar perusahaan bisa fokus pada core business, sementara pekerjaan penunjang dikelola pihak ketiga. Namun dalam praktiknya, outsourcing menjelma menjadi alat eksploitasi.
Banyak buruh outsourcing bekerja di bagian inti perusahaan, namun tanpa jaminan masa depan. Status kontrak pendek membuat mereka tidak berhak atas kepastian kerja. Setiap habis kontrak, rasa cemas menghantui: diperpanjang atau digantikan? Mereka bekerja dengan tanggung jawab penuh, tetapi dihargai setengah hati.
Lebih parah lagi, banyak perusahaan outsourcing tidak patuh pada regulasi. Hak-hak normatif seperti tunjangan hari raya, jaminan kesehatan, hingga pesangon sering diabaikan. Buruh outsourcing hidup dalam ketidakpastian struktural, seolah terjebak dalam sistem yang sah secara hukum, tetapi tidak adil secara moral.
Pemerintah, dalam hal ini negara, seringkali terjebak dalam dilema antara melayani kepentingan buruh atau menjaga kepentingan pengusaha dan investasi. Undang-Undang Cipta Kerja yang digadang-gadang sebagai “penyederhanaan regulasi” justru menuai protes karena dianggap memperkuat posisi outsourcing dan memperlemah perlindungan buruh.
Alih-alih menyelesaikan gejolak, negara justru menambah bara dalam bara. Regulasi yang semestinya berpihak pada rakyat pekerja, justru memberi karpet merah bagi fleksibilitas tenaga kerja yang ujungnya memperpanjang ketidakpastian.
Lalu, apa jalan keluar dari gejolak ini? Pertama, negara harus berani menegakkan aturan bahwa upah minimum hanyalah batas dasar, bukan standar rata-rata. Mekanisme pengupahan berbasis produktivitas dan masa kerja harus diperkuat agar buruh yang loyal mendapatkan penghargaan yang layak.
Kedua, praktik outsourcing harus dipangkas pada sektor-sektor yang benar-benar penunjang. Pekerjaan inti tidak boleh lagi dialihkan ke pihak ketiga. Buruh yang menggerakkan roda utama perusahaan harus mendapat status pekerja tetap dengan hak penuh.
Ketiga, dialog sosial harus diperkuat. Buruh, pengusaha, dan pemerintah seharusnya duduk bersama, bukan saling berhadap-hadapan di jalanan. Aksi massa memang sah dan konstitusional, tetapi akan lebih baik bila kebijakan lahir dari musyawarah, bukan tekanan semata.
Intinya, gejolak upah buruh dan outsourcing yang enggan berkesudahan ini sebenarnya hanyalah cermin dari satu hal: ketidakadilan yang dinormalisasi. Selama negara dan pengusaha masih melihat buruh sekadar angka produksi, bukan manusia yang berhak atas kehidupan layak, maka gejolak akan selalu berulang.
Kaum buruh bukan sekadar “biaya” yang harus ditekan, melainkan tulang punggung ekonomi yang harus disejahterakan. Jika Indonesia ingin benar-benar melangkah menuju negara maju, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah sederhana: berhenti memperpanjang ketidakpastian, dan mulailah memberi kepastian hidup bagi mereka yang bekerja.