Kuansing, KPonline-
Deklarasi Damai yang digelar Polres Kuantan Singingi bersama Forkopimda, tokoh masyarakat, dan ratusan warga di Lapangan Limuno pada Rabu (3/9/2025) silam, menyisakan catatan kritis dari kalangan buruh. Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) menegaskan, perdamaian sejati tak akan pernah terwujud bila ketidakadilan terhadap buruh sawit terus dibiarkan, Sabtu (13/09/2025).
Deklarasi yang dihadiri Bupati Kuansing Dr. H. Suhardiman Amby, Wakil Bupati H. Muklisin, dan Kapolres Kuansing AKBP R. Ricky Pratidiningrat itu menekankan komitmen menolak anarkisme, menjaga keamanan dengan pendekatan humanis, serta mendukung aparat. Namun, di balik narasi damai tersebut, buruh sawit masih berhadapan dengan pelanggaran hak normatif yang semakin memprihatinkan.
Kapolres Kuansing, AKBP R. Ricky Pratidiningrat, dalam sambutannya menyatakan apresiasi atas sinergi antara pemerintah daerah dan masyarakat. “Deklarasi damai ini adalah bentuk nyata kebersamaan kita menjaga Kamtibmas. Aspirasi masyarakat dapat disampaikan dengan tertib dan damai, tanpa anarkisme maupun tindakan melawan hukum,” tegasnya.
Meski demikian, Ketua Konsulat Cabang FSPMI Kuansing, Jon Hendri, mengingatkan bahwa kondusifitas tidak boleh dijadikan alasan untuk menutup mata terhadap penderitaan buruh. Ia menyebut, mayoritas buruh harian lepas (BHL) di perkebunan sawit belum memperoleh kepastian upah layak, bahkan sebagian besar tidak didaftarkan dalam program BPJS Ketenagakerjaan. “Hampir 75 persen buruh BHL di Kuansing tidak memiliki jaminan sosial. Ini bentuk pengabaian serius yang harus segera ditangani pemerintah,” ujar Jon Hendri, didampingi Sekretaris FSPMI Kuansing, Arif Cahyadi.
Jon Hendri menegaskan bahwa serikat buruh siap menjaga kedamaian daerah, tetapi pemerintah juga wajib menunaikan tanggung jawab moral dan konstitusional untuk melindungi hak-hak pekerja. “Deklarasi damai tidak boleh hanya sebatas seremoni. Harus ada keberanian pemerintah daerah untuk menindak perusahaan yang abai terhadap pekerja,” tambahnya.
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) FSPMI Riau, Satria Putra, menyuarakan kritik lebih tajam. Menurutnya, kondisi buruh sawit di Kuansing mencerminkan wajah buram manajemen perkebunan di Riau. “Bagaimana mungkin kita bicara damai kalau di baliknya masih ada perbudakan modern yang dialami buruh kebun? Hak normatif diangkangi, upah murah dipraktikkan, dan jaminan sosial diabaikan. Pemerintah jangan sekadar hadir di panggung deklarasi, tapi harus hadir nyata di lapangan untuk menegakkan keadilan,” tegasnya.
Satria Putra mendesak Pemkab Kuansing bersama Dinas Tenaga Kerja agar turun langsung melakukan pengawasan ketat terhadap perusahaan perkebunan. Ia juga mengingatkan DPRD untuk tidak tinggal diam.
“Kalau negara lalai, FSPMI akan terus berdiri di garda terdepan memperjuangkan nasib buruh sawit. Damai sejati hanya akan lahir jika keadilan ditegakkan”, tegas Satria.