Pelalawan, KPonline – Di balik gemerlap pembangunan dan geliat industri, terdapat sisi gelap dunia kerja yang terus berlangsung seperti praktik outsourcing yang tak berkesudahan, sistem kontrak yang diperpanjang tanpa kepastian, serta manipulasi upah yang membungkam kesejahteraan.
Ribuan buruh di berbagai sektor industri hidup dalam ketidakpastian. Mereka yang bekerja di sektor alih daya kerap diikat kontrak jangka pendek yang diperpanjang terus-menerus, tanpa pernah diangkat sebagai pekerja tetap. Hal ini bukan hanya melanggar rasa keadilan, tapi juga melemahkan posisi tawar pekerja di hadapan perusahaan.
Yang paling dirugikan tentu adalah para buruh itu sendiri mereka yang telah bekerja bertahun-tahun tetapi tidak pernah merasakan jaminan kerja layaknya pekerja tetap. Sementara perusahaan alih daya dan perusahaan pengguna diuntungkan karena dapat menekan biaya produksi dengan upah murah dan minim tanggung jawab jangka panjang. Negara, sayangnya, seringkali diam atau bahkan menjadi fasilitator lewat regulasi yang tidak berpihak pada kaum pekerja. Sistem ini menciptakan ketimpangan struktural yang mendalam, memperkuat oligarki korporasi dan memperlemah kelas pekerja.
Praktik seperti ini tidak hanya terjadi di satu daerah, tetapi merata di banyak kawasan industri, mulai dari Pekanbaru hingga Cikarang, dari Pelalawan hingga Makassar. Polanya nyaris seragam: buruh dipekerjakan melalui pihak ketiga, diikat kontrak kerja pendek, kemudian kontraknya diputus dan diperbarui kembali agar statusnya tetap sebagai “karyawan baru”. Dalam banyak kasus, upah mereka pun dimanipulasi dengan memotong tunjangan atau menunda pembayaran, tanpa perlindungan hukum yang nyata.
Kesadaran buruh akan pentingnya persatuan kini mulai tumbuh kembali. Gelombang perlawanan muncul ketika mereka sadar bahwa kekuatan tidak ada di tangan satu individu, tetapi dalam solidaritas kolektif. Semangat “buruh bersatu tak bisa dikalahkan” kembali digaungkan dalam setiap konsolidasi, unjuk rasa, dan forum diskusi lintas daerah. Perjuangan ini bukan sekadar tentang upah, tapi tentang martabat manusia yang telah lama direduksi menjadi sekadar “tenaga kerja”.
Pendidikan yang semestinya menjadi alat pembebasan, tetapi kenyataannya seringkali justru menjadi alat reproduksi ketimpangan. Kurikulum disusun bukan untuk mencerdaskan rakyat agar kritis, tetapi untuk mencetak tenaga kerja yang patuh terhadap pasar. Sekolah tidak mengajarkan tentang hak buruh, sejarah perlawanan rakyat, atau kesadaran kelas. Di banyak institusi, pendidikan lebih condong memihak kekuasaan dan korporasi, menjauh dari kepentingan rakyat. Inilah sebabnya mengapa pendidikan menjadi arena yang tak netral dalam pertarungan antara kekuasaan, pasar, dan rakyat.
Solusi tidak bisa bergantung pada negara atau pasar, tetapi harus datang dari bawah—dari gerakan rakyat dan buruh yang sadar dan terorganisir. Buruh harus membangun kekuatan politik dan ekonomi sendiri, memperkuat serikat pekerja, serta mendorong regulasi yang lebih adil. Pendidikan alternatif berbasis kerakyatan harus dikembangkan untuk melawan narasi dominan yang meninabobokan. Di saat yang sama, publik harus didorong untuk sadar bahwa nasib buruh bukan isu kelas bawah semata, tetapi persoalan kemanusiaan yang menyangkut keberlangsungan bangsa.
Pemerintah, sebagai pembuat regulasi, tidak bisa terus menerus bersembunyi di balik alasan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Mereka harus berpihak pada keadilan sosial dan menindak tegas pelanggaran ketenagakerjaan. Perusahaan pun harus ditekan untuk memenuhi tanggung jawab moral dan hukum mereka.
Masyarakat sipil, akademisi, media, dan pelajar harus membuka mata dan ikut dalam perjuangan ini. Karena pada akhirnya, perlawanan terhadap ketidakadilan bukan hanya tugas buruh tetapi tanggung jawab kita semua sebagai warga bangsa yang ingin hidup dalam dunia yang lebih manusiawi. (Heri)