FSPMI Kota Semarang Nilai Pemkot Semarang Abaikan KHL, Sumartono: Tuntutan Buruh Sudah Turun Drastis

FSPMI Kota Semarang Nilai Pemkot Semarang Abaikan KHL, Sumartono: Tuntutan Buruh Sudah Turun Drastis

 

Semarang, KPonline – Hasil Rapat pleno Dewan Pengupahan Kota Semarang yang digelar di Kantor Disnaker Kota Semarang pada Jum’at (19/12/2025) belum menghasilkan satu angka rekomendasi dalam penentuan Upah Minimum Kota (UMK) Tahun 2026. Hal ini menjadi sorotan dari unsur serikat pekerja. Ketua KC FSPMI Semarang Raya, Sumartono, menilai pemerintah kota belum melihat persoalan pengupahan secara utuh, khususnya dari sisi kebutuhan hidup layak (KHL) dan keadilan antar daerah.

Sumartono mengungkapkan bahwa sejak awal serikat pekerja telah menyampaikan konsep kenaikan upah minimal sebesar 21,3% kepada Pemerintah Kota Semarang. Namun, dalam dinamika pembahasan tahun ini, serikat pekerja telah menurunkan tuntutannya secara signifikan demi sikap kooperatif sesuai dengan aturan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah yakni PP 49 tahun 2025.

“Dulu kita menyampaikan ke Pemkot bahwa secara konsep kita menginginkan upah naik minimal 21,3% di tahun. Tapi sesuai dengan aturan dalam PP No 49 tahun 2025 kita hanya minta alfa 0,9, itu memang maksimal. Akan tetapi jika dibandingkan dengan permintaan beberapa bulan lalu, itu sangat rendah,” tegas Sumartono.

Ia menjelaskan, dengan nilai alfa maksimal tersebut, kenaikan upah yang dihasilkan hanya akan berkisar di angka 7,71%, jauh menurun dari tuntutan awal. Menurutnya, penurunan dari 21,3% ke 7,71% merupakan bentuk kompromi besar dari serikat pekerja yang seharusnya diapresiasi oleh pemerintah kota.

“Dari 21,3% ke 7,71% itu sudah turun drastis. Itu seharusnya Pemkot menghargai sikap kooperatif kita. Tapi pemerintah melihatnya hanya dari angka 0,9 dan 0,5, bukan dari posisi awal 21,3%,” ujarnya.

Sumartono juga menyoroti cara pandang pemerintah dan unsur akademisi yang dinilai hanya membandingkan usulan alfa dari serikat pekerja sebesar 0,9 dan dari Apindo sebesar 0,5, sehingga pemerintah mengambil posisi aman dengan dalih nilai tengah.

Padahal, lanjutnya, pemerintah seharusnya menjadikan nilai Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebagai dasar utama. Berdasarkan data dari pusat, nilai KHL Kota Semarang seharusnya berada di angka Rp4,6 juta.

“Tanpa kita minta pun, seharusnya pemerintah menetapkan upah Kota Semarang itu Rp4,6 juta. Dengan nilai maksimal yang kita tawarkan saja, upah hanya di kisaran Rp3,7 juta dan itu masih jauh dari KHL,” tegasnya.

Selain persoalan KHL, Sumartono juga mengkritisi disparitas upah antar ibu kota provinsi se-Indonesia. Ia menyebut UMK Kota Semarang sebagai ibu kota Provinsi Jawa Tengah justru masih menjadi salah satu yang terendah dibandingkan kota-kota provinsi lain.

“Masuk ke alfa 0,9 saja pemerintah masih berpikir berkali-kali. Padahal 0,9 itu wajar dan pantas. Upah Kota Semarang ini jauh di bawah ibu kota provinsi lain. Ini seharusnya jadi pertimbangan serius,” katanya.

Ia bahkan menilai cara berpikir pemerintah kota dan unsur akademisi cenderung berpihak pada kepentingan pengusaha.

“Pemikiran pemerintah dan akademisi di sini seolah-olah oligarki. Mereka mewakili pengusaha dan menyebutnya nilai tengah. Padahal yang harus dipertimbangkan itu KHL berapa yang seharusnya didapatkan buruh. Tapi faktanya mereka masih bertahan di angka yang sangat minimum,” pungkas Sumartono. (sup)