Feodalisme dan “Yes Man”: Warisan Kolonial yang Masih Menggerogoti Dunia Kerja

Gresik, KPonline – Di tengah gembar-gembor modernisasi dan jargon reformasi di berbagai perusahaan, masih ada satu penyakit lama yang belum juga sembuh: feodalisme dan budaya “yes man”. Dua virus sosial warisan kolonial ini masih hidup, bahkan beranak-pinak di banyak tempat kerja. Ironisnya, di tengah semangat buruh untuk menegakkan keadilan dan kesetaraan, justru sistem internal organisasi kerap dikuasai oleh pola pikir feodal dan mentalitas penjilat (Ngatok -red).

Bacaan Lainnya

Budaya feodal melahirkan pandangan bahwa kekuasaan adalah sesuatu yang absolut, bahwa jabatan adalah kebenaran itu sendiri. Dalam sistem ini, atasan seolah memiliki kuasa penuh untuk menentukan benar dan salah, sementara bawahan hanya dianggap alat pelaksana yang wajib tunduk. Loyalitas buta dianggap nilai tertinggi, menggantikan profesionalitas dan kinerja nyata.

Tidak heran, di lingkungan seperti ini, tumbuh subur sosok-sosok “yes man”—mereka yang hanya tahu berkata “siap”, tanpa pernah berani berpikir atau bersuara kritis. Mereka bukan sekadar individu penurut, tapi juga simbol dari sistem yang menolak perbedaan pendapat. Kritik dianggap pembangkangan, keberanian dianggap ancaman. Padahal, organisasi tanpa kritik ibarat kapal tanpa kompas, tampak berjalan, tapi perlahan tenggelam dalam kesalahan yang tak terkoreksi.

Budaya “Asal Bapak Senang (ABS)” ini lebih berbahaya dari yang terlihat. Ia mematikan daya pikir, membuat buruh dan karyawan berhenti berinovasi karena tahu ide mereka takkan pernah didengar. Ia melahirkan keputusan keliru yang dibiarkan berlarut, karena tak ada satu pun yang berani mengatakan “ini salah”. Dan yang paling fatal, ia menghancurkan solidaritas kerja, karena yang terjadi bukan lagi gotong royong, melainkan lomba saling menjilat demi posisi aman di mata atasan.

Gabungan antara feodalisme dan budaya “yes man” menciptakan lingkungan kerja yang toksik dan tidak manusiawi. Sistem seperti ini bukan hanya menghambat potensi individu, tapi juga membunuh semangat perjuangan kelas pekerja untuk mendapatkan haknya secara adil. Di bawah kekuasaan feodal, suara buruh sering kali dipatahkan, dikerdilkan, bahkan dianggap tidak penting.

Inilah wajah baru penindasan di era modern: bukan cambuk dan rantai seperti masa kolonial dulu, tapi rasa takut dan kepatuhan palsu yang memenjarakan pikiran.

Sudah saatnya kita, kaum buruh dan rakyat pekerja, berani menantang sistem ini. Feodalisme dan “yes man” bukan budaya kerja, melainkan alat pelanggeng kekuasaan. Dunia kerja yang sehat hanya bisa dibangun di atas keberanian bersuara, kesetaraan peran, dan penghargaan terhadap kinerja nyata, bukan pada siapa yang paling pandai mengangguk.

Organisasi yang maju bukan yang penuh pujian, tapi yang berani mengoreksi diri. Karena kemajuan sejati lahir bukan dari kepatuhan, tapi dari keberanian untuk berkata “tidak” pada ketidakadilan.

(Junaidi – Kontributor Gresik)

Pos terkait