Fenomena Kelas Pekerja Dalam Mengejar Upah Layak

Fenomena Kelas Pekerja Dalam Mengejar Upah Layak

Jakarta, KPonline – Fenomena perjuangan kelas pekerja atau kaum Buruh dalam mengejar upah layak mulai kembali menjadi sorotan. Dan itu biasanya selalu terjadi disetiap penghujung tahun. Dimana, diberbagai kota industri, suara buruh melalui Serikat pekerja menggema, menuntut hak yang dianggap fundamental yaitu upah yang cukup untuk hidup layak.

Bagi kelas pekerja, upah layak bukan sekadar angka di slip gaji, melainkan penentu apakah mereka bisa menyekolahkan anak, membeli kebutuhan pokok, hingga mengakses layanan kesehatan. Organisasi Buruh Internasional (ILO) mendefinisikan upah layak sebagai gaji yang dapat memenuhi kebutuhan dasar pekerja dan keluarganya, termasuk pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan.

Namun di lapangan, banyak buruh masih harus bergulat dengan gaji yang jauh dari standar kebutuhan hidup layak (KHL). Hal ini tentunya menimbulkan fenomena sosial baru, dimana pekerja terjebak pada pekerjaan tambahan, hutang konsumtif, hingga pinjaman daring demi menutup kebutuhan sehari-hari.

Serikat pekerja, seperti Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) yang berafiliasi dengan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), kerap menjadi barisan terdepan dalam memperjuangkan kenaikan upah minimum di Indonesia. Mereka menilai sistem pengupahan saat ini seringkali lebih berpihak pada stabilitas investasi ketimbang kesejahteraan buruh.

Menurut mereka, upah layak adalah harga mati. Tanpa itu, buruh hanya dipaksa bekerja untuk bertahan hidup, bukan untuk sejahtera.

Di kawasan industri seperti di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), Karawang dan Purwakarta masih ada buruh yang mengaku harus bekerja lembur hingga 12 jam sehari agar gaji yang diterima mendekati kebutuhan hidup layak. Tak sedikit pula yang mencari pekerjaan tambahan di sektor informal, seperti berdagang kecil-kecilan, menjadi ojek online, hingga kerja paruh waktu di akhir pekan.

Fenomena ini menegaskan bahwa upah minimum yang ditetapkan pemerintah belum sepenuhnya menjawab kebutuhan buruh. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran rumah tangga pekerja pabrik dengan dua anak sekolah mencapai Rp7–8 juta per bulan, sementara upah minimum rata-rata di kawasan industri baru berkisar Rp4,5–5 juta.

Setiap tahun, menjelang penetapan upah minimum, gelombang unjuk rasa buruh hampir selalu terjadi. Tuntutan mereka sederhana, yaitu upah yang sejalan dengan kebutuhan hidup layak, inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Namun, fenomena ini sering dibingkai sebagai benturan antara kepentingan buruh dan kepentingan pengusaha.

Pengusaha berargumen bahwa kenaikan upah yang terlalu tinggi bisa membebani biaya produksi dan mengancam kelangsungan usaha. Sementara itu, buruh menilai bahwa produktivitas dan kontribusi mereka terhadap pertumbuhan ekonomi seharusnya dibalas dengan kesejahteraan yang setara.

Fenomena kelas pekerja dalam mengejar upah layak tidak bisa dipandang sebagai isu tahunan semata, melainkan bagian dari persoalan struktural. Pemerintah dituntut untuk hadir sebagai penengah, tidak hanya dengan menetapkan formula upah, tetapi juga memastikan kebutuhan dasar pekerja dapat terpenuhi melalui regulasi yang adil, subsidi yang tepat sasaran, serta kebijakan perlindungan sosial.

Buruh percaya, perjuangan mengejar upah layak adalah jalan panjang menuju kesejahteraan. Selama kebutuhan dasar masih sulit terpenuhi, fenomena ini akan terus berlangsung dan menjadi kisah abadi kelas pekerja di Indonesia yang tak pernah berhenti memperjuangkan haknya.