Medan,KPonline, – Fenomena menjamurnya praktik Open BO (Booking Order) di Indonesia bukan sekadar isu moral atau sosial semata. Di balik maraknya bisnis ini, terdapat persoalan ekonomi struktural yang tidak bisa diabaikan. Tubuh manusia, khususnya perempuan, telah menjadi “komoditas cepat saji” dalam pasar gelap ekonomi digital, dan ironisnya, ini justru tumbuh subur di tengah kondisi ekonomi yang tidak stabil, ketimpangan sosial, lapangan pekerjaan yang sempit tidak sebanding dengan angka pencari kerja serta rapuhnya sistem perlindungan kerja.
“Kemiskinan dan Ketidakstabilan Ekonomi”
Salah satu faktor utama yang mendorong seseorang terjun ke dunia Open BO adalah himpitan ekonomi. Saat kebutuhan pokok semakin mahal, harga sewa rumah naik, biaya pendidikan dan kesehatan tak terjangkau, sementara lapangan kerja formal semakin sempit, banyak orang,khususnya perempuan muda,terjebak dalam logika bertahan hidup. Open BO menjadi “jalan pintas” untuk memenuhi kebutuhan harian, membayar cicilan, atau bahkan menanggung beban keluarga.
“Lapangan Kerja yang Tidak Ramah dan Upah Minimum yang Tidak Layak”
Di banyak daerah, lapangan pekerjaan yang terbatas,upah minimum tidak mencukupi untuk hidup layak. Bahkan mereka yang bekerja di sektor formal sering kali menerima gaji di bawah kebutuhan hidup minimum. Jam kerja panjang, status kontrak tanpa kepastian, dan tidak adanya jaminan sosial membuat banyak pekerja mencari sumber penghasilan tambahan. Dalam situasi seperti ini, Open BO bukan dipilih, melainkan dipaksa oleh keadaan.
“Digitalisasi dan Akses Mudah terhadap Platform”
Perkembangan teknologi mempercepat transaksi Open BO. Media sosial, aplikasi chatting, dan situs-situs escort service menjadi pasar yang terbuka lebar. Tanpa perlu perantara, seseorang dapat memasarkan dirinya secara langsung kepada “konsumen.” Ini menciptakan ekonomi bawah tanah yang tidak terdeteksi secara formal, namun nilainya sangat besar dan terus berkembang.
“Budaya Konsumerisme dan Tekanan Gaya Hidup”
Tidak sedikit pelaku Open BO berasal dari kalangan mahasiswa atau pekerja muda yang terjebak gaya hidup konsumtif. Budaya hedonisme yang dipromosikan lewat media sosial menciptakan tekanan sosial untuk “terlihat mampu.” Ketika pemasukan tidak sebanding dengan tuntutan gaya hidup, sebagian memilih menjual tubuhnya untuk mempertahankan citra.
“Ketimpangan Gender dan Minimnya Perlindungan Sosial”
Faktor gender juga memainkan peran besar. Perempuan masih menjadi kelompok yang paling rentan terhadap eksploitasi, dan Open BO merupakan manifestasi dari ketidakadilan ekonomi yang melanggengkan objektifikasi terhadap tubuh perempuan. Negara belum hadir secara utuh dalam menyediakan akses ekonomi yang adil dan aman bagi perempuan, terutama yang berasal dari kelas menengah ke bawah.
“Tubuh Bukan Komoditas, Kemiskinan Bukan Pilihan”
Fenomena Open BO bukan sekadar persoalan moral yang bisa diselesaikan dengan stigma dan penghukuman. Ia adalah hasil dari kegagalan negara menciptakan sistem ekonomi yang adil, inklusif, dan menjamin kehidupan layak bagi seluruh rakyatnya. Selama kemiskinan masih merajalela, selama upah masih tidak cukup untuk hidup, selama perempuan tidak dilindungi secara sosial dan ekonomi,maka praktik Open BO akan terus menjamur, bukan karena pilihan, tetapi karena keterpaksaan.
Masyarakat harus sadar bahwa solusi terhadap fenomena ini bukan hanya pada aspek hukum atau moral, melainkan pada perombakan sistem ekonomi yang menindas dan tidak adil. Dan negara, harus mulai berhenti menutup mata. (Anto Bangun)